CINTA KARENA ALLAH (AL-MAHABBAH
FILLAAH)
Yaitu: Cinta kepada apa-apa yang
dicintai Allah dan cinta kepada orang-orang yang dicintai oleh Allah. Ini
temasuk kesempurnaan iman.
[Lihat: Fat-hul
Majiid (hlm. 390) karya Syaikh ‘Abdurrahman bin Hasan Aalu Syaikh -rahimahullaah-]
Maka, masuk dalam kategori Cinta Karena Allah adalah: Cinta kepada Rasulullah -shallallaahu ‘alaihi
wa sallam-. Bahkan beliau harus kita cintai melebihi kecintaan kita kepada
anak-anak kita, orang tua kita, bahkan seluruh manusia.
Rasulullah -shallallaahu ‘alaihi wa sallam- bersabda:
لَا يُـؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى أَكُـوْنَ
أَحَبَّ إِلَـيْـهِ مِنْ وَالِدِهِ، وَوَلَدِهِ، وَالـنَّاسِ أَجْـمَعِـيْـنَ.
“Tidaklah beriman seorang diantara kalian hingga aku
lebih dicintainya melebihi kecintannya kepada orang tuanya, anaknya, dan
seluruh manusia.”
[Muttafaqun
‘Alaihi: HR. Al-Bukhari (no. 15), Muslim (no. 44), Ahmad (III/275), dan
An-Nasa-i (VIII/114-115), dari Shahabat Anas bin Malik -radhiyallaahu ‘anhu-]
Bahkan, demi sempurnanya kecintaan kita kepada Rasulullah
-shallallaahu ‘alaihi wa sallam-, kita harus mencintai beliau melebihi
kecintaan kita kepada diri sendiri.
Sebagaimana yang tedapat dalam kisah ‘Umar bin
al-Khaththab -radhiyallaahu ‘anhu-, yaitu sebuah hadits dari Shahabat ‘Abdullah
bin Hisyam -radhiyallaahu ‘anhu-, ia berkata: “Kami mengiringi Nabi
-shallallaahu ‘alaihi wa sallam-, dan beliau menggandeng tangan ‘Umar bin
al-Khaththab -radhiyallaahu ‘anhu-. Kemudian ‘Umar berkata kepada Nabi
-shallallaahu ‘alaihi wa sallam-: ‘Wahai Rasulullah, sungguh engkau sangat aku
cintai melebihi apapun selain diriku.’ Maka Nabi -shallallaahu ‘alaihi wa
sallam- menjawab: ‘Tidak, demi (Allah) yang jiwaku berada ditangan-Nya, (hal
itu belum cukup-pent) hingga aku sangat engkau cintai melebihi dirimu.’ Lalu
‘Umar berkata: ‘Sungguh sekaranglah saatnya, demi Allah, engkau sangat aku
cintai melebihi diriku.’ Maka Nabi -shallallaahu ‘alaihi wa sallam- bersabda:
‘Sekarang (engkau benar), wahai ‘Umar.’”
[Shahih:
HR. Al-Bukhari (no. 6632)]
Akan tetapi, “barangsiapa mengklaim (mengaku) cinta
kepada Nabi -shallallaahu ‘alaihi wa sallam- tanpa mutaaba’ah (mengikuti sunnah
beliau-pent), dan tanpa mendahulukan perkataan belian dari perkataan selain
beliau, maka dia telah berdusta (dalam pengakuannya). Sebagaimana firman
(Allah) -Ta’aalaa-:
وَيَقُولُونَ آمَنَّا بِاللَّهِ وَبِالرَّسُولِ
وَأَطَعْنَا ثُمَّ يَتَوَلَّى فَرِيقٌ مِنْهُمْ مِنْ بَعْدِ ذَلِكَ وَمَا
أُولَئِكَ بِالْمُؤْمِنِينَ
“Dan mereka (orang-orang munafik) berkata, “Kami telah
beriman kepada Allah dan Rasul (Muhammad), dan kami menaati (Allah dan Rasul).”
Kemudian mereka berpaling setelah itu. Mereka itu bukanlah orang-orang
beriman.” (QS. An-Nuur: 47).
Maka (dalam ayat diatas), Dia (Allah) menafikan (meniadakan) keimanan dari orang
yang berpaling dari ketaatan kepada Rasul -shallallaahu ‘alaihi wa
sallam-.”
[Fat-hul
Majiid (hlm.386-387) karya Syaikh ‘Abdurrahman bin Hasan Aalu Syaikh
–rahimahullaah-]
Dan juga termasuk BUKTI cinta kepada Rasul
-shallallaahu ‘alaihi wa sallam- adalah: “menolong Sunnah [perkataan, perbuatan,
dan ketetapan] beliau, membela syari’atnya dan membantah orang-orang
yang menentangnya, serta memerintahkan kepada yang ma’ruf dan melarang dari
yang mungkar (amar ma’ruf nahi munkar).”
[Fat-hul
Baari (I/83-cet. Daarus Salaam) karya al-Hafizh Ibnu Hajar al-‘Asqalani
-rahimahullaah-]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar