[Penetapan Sifat “Mahabbah” (Cinta)
Bagi Allah]
[1]- Pembahasan Ayat Pertama:
...وَأَحْسِــنُوْا إِنَّ
اللهَ يُـحِبُّ الْمُحْسِــنِـيْـنَ
“…dan
berbuat baiklah. Sungguh, Allah mencintai orang-orang yang berbuat baik.” (QS. Al-Baqarah:
195)
Dalam ayat ini terdapat: (1)perintah
untuk berbuat Ihsan, dan (2)pengabaran bahwa Allah mencintai orang-orang yang
berbuat Ihsan.
Ihsan ada 2 (dua):
1- Ihsan dalam beribadah kepada Allah,
yaitu: (1)dengan beribadah kepada Allah
seolah-olah engkau melihat-Nya, dan jika tidak mampu untuk sampai ke derajat
ini; maka (2)engkau senantiasa merasa diawasi
oleh Allah.
2-
Ihsan kepada manusia, yaitu:
(1)dengan tidak mengganggu mereka, (2)memberikan kedermawanan -baik berupa:
harta, tenaga, maupun menggunakan jabatannya untuk membantu memudahkan urusan
manusia, (3)dan memenuhi wajah dengan senyuman (walaupun terkadang seseorang
bermuka masam karena dia sedang marah ataupun semisalnya).
...إِنَّ
اللهَ يُـحِبُّ الْمُحْسِــنِـيْـنَ
“…Sungguh, Allah mencintai orang-orang
yang berbuat baik.”
Ini
merupakan balasan bagi orang yang berbuat Ihsan; yaitu: Allah akan
mencintainya. Dan kecintaan Allah terhadap hamba adalah lebih tinggi
dibandingkan kecintaan seorang hamba terhadap Allah. Oleh karena itu sebagian
ulama berkata: “Yang penting adalah bahwa Allah mencintaimu, bukan hanya engkau
mencintai-Nya.”
Maka dalam
ayat ini terdapat sifat “Al-Mahabbah” (cinta) bagi Allah, yang tentunya
sifat “Al-Mahabbah” (kecintaan) ini tidak sama dengan “Al-Mahabbah” (kecintaan)
milik makhluk-Nya.
[2]- Pembahasan Ayat Kedua:
...وَأَقْسِــطُوْا إِنَّ اللهَ يُـحِبُّ الْمُقْسِــطِـيْـنَ
“…dan berlakulah adil. Sungguh, Allah
mencintai orang-orang yang berlaku adil.” (QS.
Al-Hujuraat: 9)
Dalam ayat ini terdapat: (1)perintah
untuk berbuat adil, dan (2)pengabaran bahwa Allah mencintai orang-orang yang
berlaku adil.
Termasuk dalam keadilan:
1- Adil dalam bermu’amalah
(berinteraksi) dengan Allah ‘Azza Wa Jalla, yakni: Allah telah
memberikan berbagai nikmat kepadamu; maka termasuk bentuk keadilan adalah:
engkau melaksanakan syukur kepadanya. Demikian juga Allah telah menunjukkan
kebenaran kepadamu; maka termasuk keadilan: engkau mengikuti dan mengamalkan
kebenaran tersebut.
2- Adil dalam bermu’amalah
(berinteraksi) dengan manusia; yakni: engkau memperlakukan mereka dengan dengan
cara yang engkau suka mereka memperlakukanmu dengannya.
3- Adil dalam melakukan pemberian
terhadap anak-anak.
4- Adil di antara ahli waris, dengan
memberikan bagiannya masing-masing sesuai syari’at.
5- Adil dalam membagi giliran di antara
para istri (bagi yang melakukan ta’addud/poligami).
6- Adil terhadap diri sendiri, dengan
tidak membebani diri dengan amalan yang di luar kemampuan.
Dan seterusnya.
Peringatan!
Kemudian harus diketahui tentang adanya
sebagian orang yang menggunakan kalimat “Al-Musaawaah” (persamaaan):
sebagai ganti dari “Al-‘Adl” (keadilan). Maka ini adalah salah, karena
persamaan menuntut adanya: harus sama antara dua hal, sedangkan ini tidak
sesuai dengan hikmah.
Akibat slogan persamaan ini; maka
manusia mengatakan: “Tidak ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan!”
Padahal dalam Islam -dan juga secara fitroh dan realita (kenyataan)-: sangat
banyak perbedaan antara laki-laki dan perempuan.
Adapun yang dimaksud dengan adil yaitu:
memberikan setiap orang sesuai dengan haknya.
Sehingga salah kalau dikatakan bahwa:
agama Islam adalah agama persamaan.
Yang benar adalah: agama Islam adalah
agama keadilan; yaitu: menggabungkan/menyamakan antara dua hal yang sama dan
memisahkan/membedakan antara dua hal yang berbeda.
Dan di dalam Al-Qur’an Allah tidak
memerintahkan persamaan, akan tetapi yang Dia perintahkan adalah keadilan:
إِنَّ اللهَ
يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ...
“Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil…” (QS. An-Nahl: 90)
...وَإِذَا حَكَمْتُمْ بَـيْـنَ النَّاسِ أَنْ تَـحْكُمُـوْا
بِالْعَدْلِ...
“…dan (Allah memerintahkanmu) apabila
menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil…” (QS. An-Nisaa’: 90)
Justru di
dalam Al-Qur’an seringkali Allah menafikan persamaan; seperti firman-Nya:
...قُلْ هَلْ يَسْتَوِي الَّذِيْنَ يَعْلَمُوْنَ وَالَّذِيْنَ لا
يَعْلَمُوْنَ...
“…Katakanlah:
“Apakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak
mengetahui?”…” (QS.
Az-Zumar: 9)
Juga
seperti firman-Nya:
...لَا يَسْتَوِي مِنْكُمْ مَنْ أَنْفَقَ مِنْ قَبْلِ الْفَتْحِ
وَقَاتَلَ أُولَئِكَ أَعْظَمُ دَرَجَةً مِنَ الَّذِينَ أَنْفَقُوا مِنْ بَعْدُ
وَقَاتَلُوا...
“…Tidak sama orang yang menginfakkan
(hartanya di jalan Allah) di antara kamu dan berperang sebelum penaklukan
(Mekah). Mereka lebih tinggi derajatnya daripada orang-orang yang menginfakkan
(hartanya) dan berperang setelah itu…” (QS. Al-Hadiid: 10)
Dan
ayat-ayat lainnya.
Maka dalam ayat ini terdapat
sifat “Al-Mahabbah” (cinta) bagi Allah, yaitu: Allah mencintai
orang-orang yang berbuat adil.
[3]- Pembahasan Ayat Ketiga:
...فَمَا
اسْتَقَامُوْا لَكُمْ فَاسْــــتَـقِـيْمُوْا لَـهُمْ إِنَّ اللهَ يُـحِبُّ الْمُـتَّـــقِـيْـنَ
“…maka
selama mereka berlaku jujur terhadapmu; hendaklah kamu berlaku jujur pula
terhadap mereka. Sungguh, Allah mencintai orang-orang yang bertaqwa.” (QS. At-Taubah:
7)
Di sini ada 3 (tiga) pembahasan:
(1)- Makna ayat ini adalah: selama
orang-orang kafir “Mu’aahad” (yang ada perjanjian dengan kaum muslimin)
itu memenuhi perjanian mereka; maka hendaknya kalian juga memenuhi perjanjian
tersebut. Dan Allah mencintai orang-orang yang bertaqwa; baik bertaqwa dalam
masalah memenuhi perjanjian, maupun bertaqwa dalam perkara-perkara lainnya.
(2)- Dan makna Taqwa -secara luas-
adalah: menjadikan pelindung dari adzab Allah, dengan cara: melaksanakan
perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya.
(3)- Dalam
ayat ini terdapat sifat “Al-Mahabbah” (cinta) bagi Allah, yaitu: Allah
mencintai orang-orang yang bertaqwa.
[4]- Pembahasan Ayat
Keempat:
...إِنَّ اللهَ يُـحِبُّ الـتَّــوَّابِـيْـنَ
وَيُـحِبُّ الْمُـتَـطَـهِّـرِيْـنَ
“…Sungguh, Allah mencintai orang-orang
yang banyak/sering bertaubat dan orang-orang yang menyucikan diri.” (QS. Al-Baqarah:
222)
Di sini ada 4 (empat) pembahasan:
(1)- Pembahasan tentang Taubat.
Taubat adalah: kembali kepada Allah,
yakni: dari bermaksiat kepada Allah; menuju ketaatan kepada-Nya.
Syarat Taubat ada 5 (lima):
1- Ikhlas karena Allah Ta’aalaa;
dimana pendorongnya untuk bertaubat adalah: takut akan siksa Allah dan
mengharapkan pahala dari-Nya.
2- Menyesali perbuatan dosanya, dimana
dia berangan-angan seandainya dosa itu tidak terjadi.
3- Meninggalkan dosa tersebut, dengan
cara:
(a)- Jika dosanya berupa melakukan yang
haram; maka: dengan meninggalkan hal yang haram tersebut.
(b)- Jika dosanya berupa meninggalkan
kewajiban; maka: dengan melaksanakan kewajiban tersebut.
(c)- Jika dosanya berkaitan dengan hak
orang lain; maka harus diselesaikan dengan orang tersebut.
4- Bertekad untuk tidak mengulangi
perbuatan dosa tersebut.
5- Taubat dilakukan pada waktu masih
diterimanya taubat; yaitu: ketika nyawa belum di kerongkongan dan ketika
matahari belum terbit dari barat.
(2)- Pembahasan Tentang Thaharah
(Menyucikan Diri).
Thaharah adalah: membersihkan diri dari
hadats dan najas.
Hadats adalah: sifat yang ada pada diri
seseorang yang menjadikan dia tidak bisa melaksanakan ibadah yang diharuskan
suci di dalamnya. Seperti seorang yang buang angin; maka keadaan dia adalah
berhadats, atau seorang yang kencing atau buang air besar; maka keadaan dia
setelahnya dinamakan: berhadats (tidak suci). Adapun kotoran atau kencing yang
dia keluarkan; itulah yang dinamakan najas.
Sehingga, Najas adalah: hal-hal yang
jika keluar dari seseorang ataupun mengenai dirinya atau mengenai benda-benda
yang akan dia gunakan (baju atau lainnya); maka harus dibersihkan berdasarkan
syari’at.
(3)- Thaharah Zhahir Dan Thaharah
Bathin.
Thaharah Bathin -yakni membersihkan jiwa
dari kotoran dosa-: terdapat dalam:
إِنَّ اللهَ يُـحِبُّ الـتَّــوَّابِـيْـنَ
“Sungguh, Allah mencintai orang-orang
yang banyak/sering bertaubat.”
Thaharah Zhahir -yakni membersihkan
badan dari hadats dan najas-: terdapat dalam:
وَيُـحِبُّ الْمُـتَـطَـهِّـرِيْـنَ
“Dan (Allah) mencintai orang-orang yang
menyucikan diri.”
(4)- Dalam ayat ini terdapat sifat
“Al-Mahabbah” (cinta) bagi Allah, yaitu: Allah mencintai orang-orang yang
banyak/sering bertaubat dan mencintai orang-orang yang menyucikan diri.[1]
[5]- Pembahasan Ayat Kelima
قُلْ إِنْ كُـنْـتُمْ تُـحِبُّوْنَ اللهَ فَـاتَّــبِـعُــوْنِـيْ
يُـحْـبِـبْـكُمُ اللهُ...
“Katakanlah (wahai Rasul): Jika kamu
mencintai Allah; maka ikutilah aku, niscaya Allah mencintaimu…” (QS. Ali ‘Imran:
31)
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullaah
berkata:
“Para ulama Salaf menamakan ayat ini
dengan nama “Ayat Ujian”, karena ada kaum yang mengaku cinta kepada Allah; maka
Allah perintahkan Nabi-Nya untuk mengatakan kepada mereka: “Jika kamu
mencintai Allah; maka ikutilah aku!”
Ini adalah tantangan bagi setiap orang
yang mengaku cinta kepada Allah; maka dikatakan kepadanya: “Jika engkau jujur
dalam mencintai Allah; maka ikutilah Rasul!”
Maka barangsiapa yang berbuat hal yang
baru dalam agama Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam yang bukan
bagian darinya, kemudian dia mengatakan: “Sungguh aku cinta kepada Allah dan
Rasul-Nya dengan apa yang aku buat ini.” Maka kita katakan kepadanya: “Ini
dusta! Kalaulah kecintaanmu jujur; maka tentunya engkau akan ittibaa’ (mengikuti)
Rasul ‘alaihish shalaatu was salaam, dan engkau tidak mendahului beliau
dengan memasukkan sesuatu ke dalam syari’at beliau: suatu perkara yang bukan
berasal darinya.
Sehingga semakin seseorang itu mengikuti
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam; maka ia semakin cinta kepada
Allah, (dan Allah pun cinta kepadanya- pent)”[2]
Dan
telah dijelaskan bahwa: kecintaan Allah terhadap hamba adalah lebih tinggi
dibandingkan kecintaan seorang hamba terhadap Allah. Oleh karena itulah
sebagian ulama berkata: “Yang penting adalah bahwa Allah mencintaimu, bukan
hanya engkau mencintai-Nya.”
Dalam ayat ini terdapat sifat
“Al-Mahabbah” (cinta) bagi Allah, yaitu: Allah mencintai orang-orang yang ittibaa’
(mengikuti) Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam.
[6]- Pembahasan Ayat Keenam
... فَسَوْفَ يَأْتِـي اللهُ
بِقَوْمٍ يُـحِبُّهُمْ وَيُـحِبُّوْنَهُ...
“…maka kelak Allah akan mendatangkan
suatu kaum yang Dia mencintai mereka dan mereka pun mencintai-Nya…” (QS.
Al-Maa-idah: 54)
Awal ayat ini adalah:
يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا مَنْ يَرْتَـدَّ
مِنْكُمْ عَنْ دِيْــنِهِ فَسَوْفَ يَأْتِـي اللهُ بِقَوْمٍ يُـحِبُّهُمْ وَيُـحِبُّوْنَهُ...
“Wahai orang-orang yang beriman!
Barangsiapa di antara kamu yang murtad (keluar) dari agamanya; maka kelak Allah
akan mendatangkan suatu kaum yang Dia mencintai mereka dan mereka pun
mencintai-Nya…” (QS.
Al-Maa-idah: 54)
Yakni: barangsiapa dari kalian yang
murtad dari agama Allah; maka itu tidak akan membahayakan Allah sama sekali,
karena Allah Ta’aalaa Maha Kaya, tidak butuh kepada makhluk-Nya, bahkan
Allah akan menghilangkannya dan menggantikannya dengan yang lebih baik.
Allah akan mendatangkan suatu kaum yang
Dia mencintai mereka dan mereka pun mencintai-Nya. Dan jika mereka mencintai
Allah dan Allah pun mencintai mereka; maka tentulah mereka akan melaksanakan
ketaatan kepada-Nya.[3]
Dalam ayat ini terdapat sifat
“Al-Mahabbah” (cinta) bagi Allah.
[7]- Pembahasan Ayat Ketujuh
إِنَّ اللهَ يُـحِبُّ الَّذِيْنَ يُـقَاتِلُوْنَ
فِـيْ سَــبِـيْلِهِ صَـــفًّا كَـأَنَّهُمْ بُــنْيَانٌ مَرْصُـوْصٌ
“Sesungguhnya Allah mencintai
orang-orang yang berperang di jalan-Nya dalam barisan yang teratur, mereka
seakan-akan seperti suatu bangunan yang tersusun kokoh.” (QS. Ash-Shaff:
4)
Dalam ayat ini Allah mengabarkan tentang
“Mahabbah” (cinta)-Nya kepada orang-orang yang memiliki sifat-sifat
berikut:
(1)- Berperang.
(2)- Ikhlas di jalan Allah.
(3)- Saling menguatkan dan mendukung
sesama muslim (dalam barisan yang teratur).
(4)- Mereka seperti bangunan.
(5)- Tidak ada yang menyusup di antara
mereka yang bisa menimbulkan perpecahan (karena mereka kokoh).[4]
[8]- Pembahasan Ayat Kedelapan
وَهُوَ الْــغَـفُوْرُ الْوَدُوْدُ
“Dan Dialah Yang Maha Pengampun, Maha
Pengasih.” (QS.
Al-Buruuj: 14)
Di dalam ayat ini terkandung:
(1)- Nama “Al-Ghafuur” (Maha
Pengampun), yang mengandung sifat “Al-Maghfirah” (mengampuni).
(2)- Nama “Al-Waduud” (Maha
Pengasih), yang mengandung sifat “Al-Wudd” (kecintaan yang murni).[5]
-ditulis oleh: Ahmad Hendrix-
[1]
Lihat: Syarh Al-‘Aqiidah Al-Waasithiyyah (I/224-233), karya Syaikh
Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullaah.
[2] Syarh
Al-‘Aqiidah Al-Waasithiyyah (I/233-234), karya Syaikh Muhammad bin Shalih
Al-‘Utsaimin rahimahullaah.
[3]
Lihat: Syarh Al-‘Aqiidah Al-Waasithiyyah (I/234-236), karya Syaikh
Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullaah.
[4]
Lihat: Syarh Al-‘Aqiidah Al-Waasithiyyah (I/237-238), karya Syaikh
Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullaah.
[5]
Lihat: Syarh Al-‘Aqiidah Al-Waasithiyyah (I/238), karya Syaikh Muhammad
bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullaah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar