Rabu, 06 September 2017

KAJIAN 'AQIDAH WASITHIYYAH (10)



[Penetapan Sifat “Mahabbah” (Cinta) Bagi Allah]
 [1]- Pembahasan Ayat Pertama:

...وَأَحْسِــنُوْا إِنَّ اللهَ يُـحِبُّ الْمُحْسِــنِـيْـنَ

“…dan berbuat baiklah. Sungguh, Allah mencintai orang-orang yang berbuat baik.” (QS. Al-Baqarah: 195)
Dalam ayat ini terdapat: (1)perintah untuk berbuat Ihsan, dan (2)pengabaran bahwa Allah mencintai orang-orang yang berbuat Ihsan.
Ihsan ada 2 (dua):
1- Ihsan dalam beribadah kepada Allah, yaitu: (1)dengan beribadah kepada Allah seolah-olah engkau melihat-Nya, dan jika tidak mampu untuk sampai ke derajat ini; maka (2)engkau senantiasa merasa diawasi oleh Allah.
2- Ihsan kepada manusia, yaitu: (1)dengan tidak mengganggu mereka, (2)memberikan kedermawanan -baik berupa: harta, tenaga, maupun menggunakan jabatannya untuk membantu memudahkan urusan manusia, (3)dan memenuhi wajah dengan senyuman (walaupun terkadang seseorang bermuka masam karena dia sedang marah ataupun semisalnya).
...إِنَّ اللهَ يُـحِبُّ الْمُحْسِــنِـيْـنَ
“…Sungguh, Allah mencintai orang-orang yang berbuat baik.”
Ini merupakan balasan bagi orang yang berbuat Ihsan; yaitu: Allah akan mencintainya. Dan kecintaan Allah terhadap hamba adalah lebih tinggi dibandingkan kecintaan seorang hamba terhadap Allah. Oleh karena itu sebagian ulama berkata: “Yang penting adalah bahwa Allah mencintaimu, bukan hanya engkau mencintai-Nya.”
Maka dalam ayat ini terdapat sifat “Al-Mahabbah” (cinta) bagi Allah, yang tentunya sifat “Al-Mahabbah” (kecintaan) ini tidak sama dengan “Al-Mahabbah” (kecintaan) milik makhluk-Nya.
[2]- Pembahasan Ayat Kedua:
...وَأَقْسِــطُوْا إِنَّ اللهَ يُـحِبُّ الْمُقْسِــطِـيْـنَ
“…dan berlakulah adil. Sungguh, Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil.” (QS. Al-Hujuraat: 9)
Dalam ayat ini terdapat: (1)perintah untuk berbuat adil, dan (2)pengabaran bahwa Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil.
Termasuk dalam keadilan:
1- Adil dalam bermu’amalah (berinteraksi) dengan Allah ‘Azza Wa Jalla, yakni: Allah telah memberikan berbagai nikmat kepadamu; maka termasuk bentuk keadilan adalah: engkau melaksanakan syukur kepadanya. Demikian juga Allah telah menunjukkan kebenaran kepadamu; maka termasuk keadilan: engkau mengikuti dan mengamalkan kebenaran tersebut.
2- Adil dalam bermu’amalah (berinteraksi) dengan manusia; yakni: engkau memperlakukan mereka dengan dengan cara yang engkau suka mereka memperlakukanmu dengannya.
3- Adil dalam melakukan pemberian terhadap anak-anak.
4- Adil di antara ahli waris, dengan memberikan bagiannya masing-masing sesuai syari’at.
5- Adil dalam membagi giliran di antara para istri (bagi yang melakukan ta’addud/poligami).
6- Adil terhadap diri sendiri, dengan tidak membebani diri dengan amalan yang di luar kemampuan.
Dan seterusnya.
Peringatan!
Kemudian harus diketahui tentang adanya sebagian orang yang menggunakan kalimat “Al-Musaawaah” (persamaaan): sebagai ganti dari “Al-‘Adl” (keadilan). Maka ini adalah salah, karena persamaan menuntut adanya: harus sama antara dua hal, sedangkan ini tidak sesuai dengan hikmah.
Akibat slogan persamaan ini; maka manusia mengatakan: “Tidak ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan!” Padahal dalam Islam -dan juga secara fitroh dan realita (kenyataan)-: sangat banyak perbedaan antara laki-laki dan perempuan.
Adapun yang dimaksud dengan adil yaitu: memberikan setiap orang sesuai dengan haknya.
Sehingga salah kalau dikatakan bahwa: agama Islam adalah agama persamaan.
Yang benar adalah: agama Islam adalah agama keadilan; yaitu: menggabungkan/menyamakan antara dua hal yang sama dan memisahkan/membedakan antara dua hal yang berbeda.
Dan di dalam Al-Qur’an Allah tidak memerintahkan persamaan, akan tetapi yang Dia perintahkan adalah keadilan:
إِنَّ اللهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ...
“Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil…” (QS. An-Nahl: 90)
...وَإِذَا حَكَمْتُمْ بَـيْـنَ النَّاسِ أَنْ تَـحْكُمُـوْا بِالْعَدْلِ...
“…dan (Allah memerintahkanmu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil…” (QS. An-Nisaa’: 90)
Justru di dalam Al-Qur’an seringkali Allah menafikan persamaan; seperti firman-Nya:
...قُلْ هَلْ يَسْتَوِي الَّذِيْنَ يَعْلَمُوْنَ وَالَّذِيْنَ لا يَعْلَمُوْنَ...
“…Katakanlah: “Apakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?”…” (QS. Az-Zumar: 9)
Juga seperti firman-Nya:
...لَا يَسْتَوِي مِنْكُمْ مَنْ أَنْفَقَ مِنْ قَبْلِ الْفَتْحِ وَقَاتَلَ أُولَئِكَ أَعْظَمُ دَرَجَةً مِنَ الَّذِينَ أَنْفَقُوا مِنْ بَعْدُ وَقَاتَلُوا...
 “…Tidak sama orang yang menginfakkan (hartanya di jalan Allah) di antara kamu dan berperang sebelum penaklukan (Mekah). Mereka lebih tinggi derajatnya daripada orang-orang yang menginfakkan (hartanya) dan berperang setelah itu…” (QS. Al-Hadiid: 10)
Dan ayat-ayat lainnya.
Maka dalam ayat ini terdapat sifat “Al-Mahabbah” (cinta) bagi Allah, yaitu: Allah mencintai orang-orang yang berbuat adil.
[3]- Pembahasan Ayat Ketiga:

...فَمَا اسْتَقَامُوْا لَكُمْ فَاسْــــتَـقِـيْمُوْا لَـهُمْ إِنَّ اللهَ يُـحِبُّ الْمُـتَّـــقِـيْـنَ

“…maka selama mereka berlaku jujur terhadapmu; hendaklah kamu berlaku jujur pula terhadap mereka. Sungguh, Allah mencintai orang-orang yang bertaqwa.” (QS. At-Taubah: 7)
Di sini ada 3 (tiga) pembahasan:
(1)- Makna ayat ini adalah: selama orang-orang kafir “Mu’aahad” (yang ada perjanjian dengan kaum muslimin) itu memenuhi perjanian mereka; maka hendaknya kalian juga memenuhi perjanjian tersebut. Dan Allah mencintai orang-orang yang bertaqwa; baik bertaqwa dalam masalah memenuhi perjanjian, maupun bertaqwa dalam perkara-perkara lainnya.
(2)- Dan makna Taqwa -secara luas- adalah: menjadikan pelindung dari adzab Allah, dengan cara: melaksanakan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya.
(3)- Dalam ayat ini terdapat sifat “Al-Mahabbah” (cinta) bagi Allah, yaitu: Allah mencintai orang-orang yang bertaqwa.
[4]- Pembahasan Ayat Keempat:

...إِنَّ اللهَ يُـحِبُّ الـتَّــوَّابِـيْـنَ وَيُـحِبُّ الْمُـتَـطَـهِّـرِيْـنَ

“…Sungguh, Allah mencintai orang-orang yang banyak/sering bertaubat dan orang-orang yang menyucikan diri.” (QS. Al-Baqarah: 222)
Di sini ada 4 (empat) pembahasan:
(1)- Pembahasan tentang Taubat.
Taubat adalah: kembali kepada Allah, yakni: dari bermaksiat kepada Allah; menuju ketaatan kepada-Nya.
Syarat Taubat ada 5 (lima):
1- Ikhlas karena Allah Ta’aalaa; dimana pendorongnya untuk bertaubat adalah: takut akan siksa Allah dan mengharapkan pahala dari-Nya.
2- Menyesali perbuatan dosanya, dimana dia berangan-angan seandainya dosa itu tidak terjadi.
3- Meninggalkan dosa tersebut, dengan cara:
(a)- Jika dosanya berupa melakukan yang haram; maka: dengan meninggalkan hal yang haram tersebut.
(b)- Jika dosanya berupa meninggalkan kewajiban; maka: dengan melaksanakan kewajiban tersebut.
(c)- Jika dosanya berkaitan dengan hak orang lain; maka harus diselesaikan dengan orang tersebut.
4- Bertekad untuk tidak mengulangi perbuatan dosa tersebut.
5- Taubat dilakukan pada waktu masih diterimanya taubat; yaitu: ketika nyawa belum di kerongkongan dan ketika matahari belum terbit dari barat.
(2)- Pembahasan Tentang Thaharah (Menyucikan Diri).
Thaharah adalah: membersihkan diri dari hadats dan najas.
Hadats adalah: sifat yang ada pada diri seseorang yang menjadikan dia tidak bisa melaksanakan ibadah yang diharuskan suci di dalamnya. Seperti seorang yang buang angin; maka keadaan dia adalah berhadats, atau seorang yang kencing atau buang air besar; maka keadaan dia setelahnya dinamakan: berhadats (tidak suci). Adapun kotoran atau kencing yang dia keluarkan; itulah yang dinamakan najas.
Sehingga, Najas adalah: hal-hal yang jika keluar dari seseorang ataupun mengenai dirinya atau mengenai benda-benda yang akan dia gunakan (baju atau lainnya); maka harus dibersihkan berdasarkan syari’at.
(3)- Thaharah Zhahir Dan Thaharah Bathin.
Thaharah Bathin -yakni membersihkan jiwa dari kotoran dosa-: terdapat dalam:

إِنَّ اللهَ يُـحِبُّ الـتَّــوَّابِـيْـنَ

“Sungguh, Allah mencintai orang-orang yang banyak/sering bertaubat.”
Thaharah Zhahir -yakni membersihkan badan dari hadats dan najas-: terdapat dalam:

وَيُـحِبُّ الْمُـتَـطَـهِّـرِيْـنَ

“Dan (Allah) mencintai orang-orang yang menyucikan diri.”
(4)- Dalam ayat ini terdapat sifat “Al-Mahabbah” (cinta) bagi Allah, yaitu: Allah mencintai orang-orang yang banyak/sering bertaubat dan mencintai orang-orang yang menyucikan diri.[1]
[5]- Pembahasan Ayat Kelima

قُلْ إِنْ كُـنْـتُمْ تُـحِبُّوْنَ اللهَ فَـاتَّــبِـعُــوْنِـيْ يُـحْـبِـبْـكُمُ اللهُ...

“Katakanlah (wahai Rasul): Jika kamu mencintai Allah; maka ikutilah aku, niscaya Allah mencintaimu…” (QS. Ali ‘Imran: 31)
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullaah berkata:
“Para ulama Salaf menamakan ayat ini dengan nama “Ayat Ujian”, karena ada kaum yang mengaku cinta kepada Allah; maka Allah perintahkan Nabi-Nya untuk mengatakan kepada mereka: “Jika kamu mencintai Allah; maka ikutilah aku!”
Ini adalah tantangan bagi setiap orang yang mengaku cinta kepada Allah; maka dikatakan kepadanya: “Jika engkau jujur dalam mencintai Allah; maka ikutilah Rasul!”
Maka barangsiapa yang berbuat hal yang baru dalam agama Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam yang bukan bagian darinya, kemudian dia mengatakan: “Sungguh aku cinta kepada Allah dan Rasul-Nya dengan apa yang aku buat ini.” Maka kita katakan kepadanya: “Ini dusta! Kalaulah kecintaanmu jujur; maka tentunya engkau akan ittibaa’ (mengikuti) Rasul ‘alaihish shalaatu was salaam, dan engkau tidak mendahului beliau dengan memasukkan sesuatu ke dalam syari’at beliau: suatu perkara yang bukan berasal darinya.
Sehingga semakin seseorang itu mengikuti Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam; maka ia semakin cinta kepada Allah, (dan Allah pun cinta kepadanya- pent)”[2]
Dan telah dijelaskan bahwa: kecintaan Allah terhadap hamba adalah lebih tinggi dibandingkan kecintaan seorang hamba terhadap Allah. Oleh karena itulah sebagian ulama berkata: “Yang penting adalah bahwa Allah mencintaimu, bukan hanya engkau mencintai-Nya.”
Dalam ayat ini terdapat sifat “Al-Mahabbah” (cinta) bagi Allah, yaitu: Allah mencintai orang-orang yang ittibaa’ (mengikuti) Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam.
[6]- Pembahasan Ayat Keenam

... فَسَوْفَ يَأْتِـي اللهُ بِقَوْمٍ يُـحِبُّهُمْ وَيُـحِبُّوْنَهُ...

“…maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Dia mencintai mereka dan mereka pun mencintai-Nya…” (QS. Al-Maa-idah: 54)
Awal ayat ini adalah:

يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا مَنْ يَرْتَـدَّ مِنْكُمْ عَنْ دِيْــنِهِ فَسَوْفَ يَأْتِـي اللهُ بِقَوْمٍ يُـحِبُّهُمْ وَيُـحِبُّوْنَهُ...

“Wahai orang-orang yang beriman! Barangsiapa di antara kamu yang murtad (keluar) dari agamanya; maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Dia mencintai mereka dan mereka pun mencintai-Nya…” (QS. Al-Maa-idah: 54)
Yakni: barangsiapa dari kalian yang murtad dari agama Allah; maka itu tidak akan membahayakan Allah sama sekali, karena Allah Ta’aalaa Maha Kaya, tidak butuh kepada makhluk-Nya, bahkan Allah akan menghilangkannya dan menggantikannya dengan yang lebih baik.
Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Dia mencintai mereka dan mereka pun mencintai-Nya. Dan jika mereka mencintai Allah dan Allah pun mencintai mereka; maka tentulah mereka akan melaksanakan ketaatan kepada-Nya.[3]
Dalam ayat ini terdapat sifat “Al-Mahabbah” (cinta) bagi Allah.
[7]- Pembahasan Ayat Ketujuh

إِنَّ اللهَ يُـحِبُّ الَّذِيْنَ يُـقَاتِلُوْنَ فِـيْ سَــبِـيْلِهِ صَـــفًّا كَـأَنَّهُمْ بُــنْيَانٌ مَرْصُـوْصٌ 

“Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berperang di jalan-Nya dalam barisan yang teratur, mereka seakan-akan seperti suatu bangunan yang tersusun kokoh.” (QS. Ash-Shaff: 4)
Dalam ayat ini Allah mengabarkan tentang “Mahabbah” (cinta)-Nya kepada orang-orang yang memiliki sifat-sifat berikut:
(1)- Berperang.
(2)- Ikhlas di jalan Allah.
(3)- Saling menguatkan dan mendukung sesama muslim (dalam barisan yang teratur).
(4)- Mereka seperti bangunan.
(5)- Tidak ada yang menyusup di antara mereka yang bisa menimbulkan perpecahan (karena mereka kokoh).[4]
[8]- Pembahasan Ayat Kedelapan

وَهُوَ الْــغَـفُوْرُ الْوَدُوْدُ

“Dan Dialah Yang Maha Pengampun, Maha Pengasih.” (QS. Al-Buruuj: 14)
Di dalam ayat ini terkandung:
(1)- Nama “Al-Ghafuur” (Maha Pengampun), yang mengandung sifat “Al-Maghfirah” (mengampuni).
(2)- Nama “Al-Waduud” (Maha Pengasih), yang mengandung sifat “Al-Wudd” (kecintaan yang murni).[5]
-ditulis oleh: Ahmad Hendrix-


[1] Lihat: Syarh Al-‘Aqiidah Al-Waasithiyyah (I/224-233), karya Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullaah.
[2] Syarh Al-‘Aqiidah Al-Waasithiyyah (I/233-234), karya Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullaah.
[3] Lihat: Syarh Al-‘Aqiidah Al-Waasithiyyah (I/234-236), karya Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullaah.
[4] Lihat: Syarh Al-‘Aqiidah Al-Waasithiyyah (I/237-238), karya Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullaah.
[5] Lihat: Syarh Al-‘Aqiidah Al-Waasithiyyah (I/238), karya Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullaah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar