BANTAHAN
ATAS SURAT TERBUKA FATHUDDIN JA’FAR UNTUK USTADZ YAZID BIN ‘ABDUL QADIR JAWAS
اَلْـحَمْدُ لِـلّٰهِ، وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى
رَسُوْلِ اللهِ، وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَمَنْ وَلَاهُ، وَبَعْدُ:
[1]-
Muqaddimah
Istilah
“SURAT TERBUKA” yang digunakan untuk tulisan Fathuddin Ja’far -setelah melihat
isinya-; maka ternyata istilah tersebut digunakan untuk tulisan yang berisi
kritikan dan juga semacam bantahan, dengan bentuk: “seolah-olah” ingin
mendamaikan dua kubu yang berseteru. Maka apapun istilahnya; tentunya harus
disertai dengan hujjah yang nyata, disertai pemahaman terhadap realita yang
terjadi. Karena, sebagaimana dijelaskan oleh Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah
-rahimahullaah- bahwa: seorang yang akan menghukumi; maka hendaknya dia
memiliki: “Dua jenis pemahaman:
Pertama:
Pemahaman terhadap realita, (dengan) mendalaminya dan berusaha mengetahui
hakikat kejadian (dan keadaan) yang sebenarnya, (yaitu) dengan (cara)
mempelajari indikasi dan tanda-tanda, sehingga dia benar-benar menguasai (realita)
tersebut.
Kedua:
Pemahaman terhadap kewajiban (kita) dalam menghadapi realita tersebut, yaitu:
pemahaman terhadap hukum Allah yang terdapat dalam kitab-Nya maupun (sunnah)
Rasul-Nya.
Kemudian
menggabungkan dua jenis pemahaman tersebut.
Barangsiapa
yang bersungguh-sungguh dalam mengerahkan kemampuannya dalam hal ini; maka
(kalau benar) dia mendapat dua pahala atau (kalau salah) dia mendapat satu
pahala. Maka yang dinamakan ‘alim (orang yang berilmu) adalah: orang yang
mengetahui realita dan mempelajarinya, kemudian pemahamannya (terhadap realita)
ini dia gunakan untuk mengetahui hukum Allah dan Rasul-Nya (dalam
perkara-perkara tersebut)…
Barangsiapa
memperhatikan syari’at dan hukum-hukum para Shahabat (Nabi), maka dia akan
mendapatkannya dipenuhi dengan (metode) ini. Dan barangsiapa yang tidak
menempuh (jalan) ini; maka dia akan menyia-nyiakan hak manusia dan menisbatkan
(ketidak adilan) tersebut kepada syari’at (Islam) yang Allah turunkan kepada
Rasul-Nya.”
[“I’laamul
Muwaqqi’iin ‘An Rabbil ‘Aalamiin” (I/165-166)]
Demikian
juga seorang yang ingin mendamaikan antara dua kubu yang berseteru; maka dia harus
memiliki dua pemahaman di atas, sebagaimana dikatakan oleh Imam Ibnul Qayyim
juga:
“Seorang
yang ingin mendamaikan (antara dua kubu): dia harus berilmu terhadap realita
dan mengetahui kewajiban (yang harus diterapkan terhadap realita tersebut-
pent).”
[I’laamul
Muwaqqi’iin (I/204-205)]
Karena
tanpa adanya dua pemahaman ini; maka orang yang ingin mendamaikan antara dua
kubu yang berseteru: justru bisa terjatuh dalam kezhaliman dan ketidak adilan.
Allah -Subhaanahu Wa Ta’aalaa- berfirman:
وَإِنْ
طَائِفَتَانِ مِنَ الْمُؤْمِنِيْنَ اقْتَتَلُوْا فَأَصْلِحُوْا بَيْنَهُمَا فَإِنْ
بَغَتْ إِحْدَاهُـمَا عَلَى الأخْرَى فَقَاتِلُوا الَّتِيْ تَبْغِيْ حَتَّى تَفِيْءَ
إِلَى أَمْرِ اللهِ فَإِنْ فَاءَتْ فَأَصْلِحُوْا بَيْنَهُمَا بِالْعَدْلِ
وَأَقْسِطُوْا إِنَّ اللهَ يُـحِبُّ الْمُقْسِطِيْنَ
“Dan apabila ada dua golongan dari
orang-orang mukmin berperang; maka damaikanlah antara keduanya. JIKA SALAH SATU
DARI KEDUA GOLONGAN ITU BERBUAT ZHALIM TERHADAP (GOLONGAN) YANG LAIN; MAKA
PERANGILAH (GOLONGAN) YANG BERBUAT ZHALIM ITU, SEHINGGA GOLONGAN ITU KEMBALI
KEPADA PERINTAH ALLAH. Jika (golongan) itu telah kembali (kepada perintah
Allah); maka damaikanlah antara keduanya dengan adil dan berlakulah adil. Sungguh,
Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil.” (QS. Al-Hujuraat: 9)
Imam
Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah -rahimahullaah- berkata:
“Allah
-Subhaanahu Wa Ta’aalaa- pertama-tama: memerintahkan untuk “ishlaah”
(mendamaikan) antara dua golongan yang saling memerangi. Kemudian JIKA ADA
SALAH SATU DARI DUA GOLONGAN TERSEBUT YANG MELAMPAUI BATAS ATAS GOLONGAN YANG
LAINNYA; MAKA KETIKA ITU: ALLAH MEMERINTAHKAN UNTUK #MEMERANGI GOLONGAN YANG
MELAMPAUI BATAS, #BUKAN_MENDAMAIKAN; #KARENA_ITU_ADALAH_KEZHALIMAN. Maka ketika
mendamaikan -padahal ada golongan yang menzhalimi-; hal itu akan mengurangi hak
golongan yang dizhalimi.”
[I’laamul
Muwaqqi’iin (I/203-204)]
Dan bagi
yang memahami -dengan teliti- kasus MIAH ini; maka dia akan melihat kezhaliman
yang nyata dari kubu yang mendemo MIAH, dan tuduhan-tuduhan yang keji atas
Ustadz Yazid secara khusus, dan atas Salafiyyin secara umum.
Dan bagi
yang membaca tulisan Fathuddin Ja’far -dengan ilmu dan pemahaman-; maka dia
akan melihat kurangnya pengetahuan dia terhadap dua jenis pemahaman di atas.
Wallaahul
Muwaffiq.
[2]- Perkataan
Fathuddin Ja’far:
“Assalamu’alaikum
Warahmatullah.
Ribuan
umat Islam hari ini (khususnya dari kalangan NU) berdemo menuntut Pemda Bogor
agar Masjid Imam Ahmad Bin Hanbal yang dibina oleh Al-Akh Yazid Bin Abdul Qadir
Jawaz dari kelompok Salafi Rodja ditutup dan dibekukan proses perizinannya.
Sebagaimana
video yang beredar, Wali Kota Bogor Bima Arya terlihat menyampaikan kepada para
pendemo, demi menjaga kesatuan Ummat maka pemerintah kota Bogor segera
memproses pembekuan IMB Masjid Imam Ahmad Bin Hanbal.
Ini
adalah tragedi dan sekaligus berita duka yang sangat perih sehingga setiap kita
pantas menangisi dan meratapi diri sendiri.”
Di sini
dia menjelaskan “realita” secara “global” yang intinya: adanya gangguan dan
ujian atas Ustadz Yazid bin ‘Abdul Qadir Jawas -hafizhahullaah- sebagai Pembina
MIAH (Masjid Imam Ahmad Ahmad bin Hanbal).
Maka
ketahuilah bahwa:
(1)- Nabi-Nabi Dan Para Pengikutnya (Dari Kalangan Para Ulama Dan
Orang-Orang Shalih) Merupakan Manusia Yang Paling Berat Cobaannya
عَنْ سَعْدِ بْنِ أَبِيْ وَقَّاصٍ، قَالَ: قُلْتُ: يَا
رَسُوْلَ اللهِ، أَيُّ النَّاسِ أَشَدُّ بَلَاءً؟ قَالَ: ((الْأَنْبِيَاءُ))
[ثُمَّ مَنْ؟ قَالَ: ((الْعُلَمَاءُ]،
[ثُمَّ الصَّالِـحُوْنَ]، ثُمَّ الْأَمْثَلُ، فَالْأَمْثَلُ، فَيُبْتَلَى
الرَّجُلُ عَلَى حَسَبِ دِيْنِهِ، فَإِنْ كَانَ دِيْنُهُ صُلْبًا؛ اشْتَدَّ
بَلَاؤُهُ، وَإِنْ كَانَ فِي دِيْنِهِ رِقَّةٌ؛ ابْتُلِيَ عَلَى حَسَبِ دِيْنِهِ،
فَمَا يَبْرَحُ الْبَلَاءُ بِالْعَبْدِ حَتَّى يَتْرُكَهُ يَمْشِيْ عَلَى
الْأَرْضِ مَا عَلَيْهِ خَطِيْئَةٌ))
Dari Sa’d bin Abi Waqhqhash -radhiyallaahu ‘anhu-, dia
berkata: Wahai Rasulullah, siapakah manusia yang paling berat cobaannya? Beliau
bersabda: “Para nabi.” [Kemudian siapa? Beliau bersabda: “Para ulama], [kemudian
orang-orang shalih], kemudian yang semisal dan yang semisal (mereka). Maka
seseorang diberikan cobaan sesuai dengan tingkat agamanya. Kalau agamanya kuat;
maka cobaannya semakin berat, dan kalau agamanya lemah; maka dia diberi cobaan
sesuai dengan agamanya. Cobaan akan terus menerus menimpa seorang hamba; sampai
dia berjalan di muka bumi dengan tidak memiliki dosa.”
[Sanadnya Hasan: HR. At-Tirmidzi (no. 2398), Ibnu Majah (no.
4023), Ahmad (no. 1481, 1494, 1555, & 1607- cet. Daarul Hadiits), dan lain-lain,
dari Sa’d bin Abi Waqqash, dengan sanad yang hasan. Dan tambahan [ ] kedua
adalah milik Ahmad dalam salah satu riwayatnnya. Adapun tambahan pertama;
diriwayatkan oleh Al-Hakim (no. 119-cet. Daarul Fikr), dari Abu Sa’id
Al-Khudri, dengan sanad yang hasan pula]
Syaikh Doktor Rabi’ bin Hadi Al-Madkhali -hafizhahullaah-
berkata:
“Yang semisal, dan yang semisal (mereka); mereka adalah:
orang-orang shalih yang berjalan di atas manhaj (jalan) mereka (para nabi)
dalam berdakwah mengajak kepada Allah, dan berdakwah sesuai dengan dakwah
mereka; berupa: mentauhidkan Allah, mengikhlaskan ibadah hanya kepada-Nya saja,
dan menyingkirkan kesyirikan dengan selain-Nya, dan mereka mendapatkan gangguan
dan cobaan seperti apa yang menimpa para teladan mereka; yakni: para nabi.
Oleh karena itulah; anda saksikan banyak dari para da’i yang
berpaling dari manhaj yang berat dan jalan yang sulit ini. Karena, da’i yang
menempuh jalan ini; maka dia akan menghadapi ibunya, bapaknya, saudaranya,
orang-orang yang dicintainya dan teman-temannya. Dia juga AKAN MENGHADAPI
MASYARAKAT; PERMUSUSHAN, EJEKAN, DAN GANGGUAN MEREKA.
Sehingga (para da’i) tersebut berpaling menuju beberapa
bagian dari Islam yang memang mempunyai kedudukan; yang tidak akan diingkari
oleh orang yang beriman kepada Allah, dimana bagian-bagian ini tidak memiliki
kesusahan, kesulitan, ejekan dan gangguan; khususnya di kalangan masyarakat
Islam. Maka, sungguh, umat Islam akan mengelilingi da’i semacam ini, mereka
akan memberikan pengagungan dan pemuliaan; tanpa ada ejekan dan tidak juga
gangguan…”
[“Manhajul Anbiyaa’ Fid Da’wah Ilallaah Fiihil Hikmah Wal
‘Aql” (hlm. 50)]
(2)- Sehingga: Adanya Ujian Justru Pertanda Kebaikan
Syaikh Imam Muhammad Nashiruddin Al-Albani -rahimahullaah-
berkata:
“Maka dalam hadits-hadits ini terdapat petunjuk yang tegas
bahwa: seorang mukmin semakin kuat keimanannya; maka semakin bertambah ujian
dan cobaannya, dan demikian juga sebaliknya. Maka di dalamnya terdapat bantahan
atas ORANG-ORANG YANG LEMAH AKAL DAN OTAKNYA yang menyangka bahwa seorang
mukmin jika ditimpa musibah -seperti: dipenjara, diusir, dicopot dari
jabatan, atau semisalnya- dianggap bahwa ini bukti bahwa mukmin tersebut tidak
diridhai di sisi Allah -Ta’aalaa-! Ini persangkaan yang bathil. Lihat sendiri
bahwa Rasulullah -shallallaahu ‘alaihi wa sallam- yang merupakan manusia yang
paling utama: beliau adalah manusia yang paling berat cobaannya, bahkan
melebihi para nabi. MAKA UJIAN -SECARA UMUM- ADALAH BUKTI UNTUK KEBAIKAN, DAN
BUKAN PERINGATAN UNTUK KEJELEKAN.”
[“Silsilah Al-Ahaadiits Ash-Shahiihah” (I/275)]
(3)- Sehingga yang menjadi inti permasalahan adalah: manakah
Dakwah yang sesuai dengan tuntutan Nabi: apakah yang didakwahkan oleh Ustadz
Yazid ataukah para pendemo?
Maka ini bisa dilihat dari buku-buku karangan Ustadz Yazid -yang
berjumlah puluhan- dan juga ceramah-ceramah beliau yang mencapai ratusan -atau
bahkan ribuan-.
Dan kalau Dakwah kita tidak sesuai dengan Dakwah Para Nabi
Dan Pengikut Mereka; maka: “setiap kita pantas menangisi dan meratapi
diri sendiri” -sebagaimana dikatakan oleh Fathuddin Ja’far sendiri-.
Wallaahul
Muwaffiq.
[3]-
Perkataan Fathuddin Ja’far:
“Dari
pihak Salafi, wa bil-husus akhil karim Yazid Jawaz hafizhohullah (kita sudah
kenal dan bersaudara sejak tahun 1983/1984 kendati manhaj dakwah kita berbeda),
sepatutnya mengevaluasi manhaj dan uslub dakwah yang dikembangkan. Tidak
menutup kemungkinan, masyarakat bertindak brutal itu karena manhaj dan asalib
dakwah yang antum kembangkan sendiri terlau banyak melukai hati dan pemikiran
mereka sejak 15 tahun belakangan.”
Di sini
ada beberapa catatan:
(1)- Tentang “masyarakat menjadi
brutal”; maka ini sudah kita bahas pada point sebelumnya bahwa: brutal atau
tidaknya masyarakat bukanlah ukuran kebenaran. Dan bahkan: para nabi dan
pengikut mereka telah mendapatkan “kebrutalan” yang luar bisa dari
masyarakatnya.
Rasulullah
-shallallaahu ‘alaihi wa sallam- bersabda: “Sungguh, pada umat sebelum
kalian: ada seorang laki-laki yang dibuatkan lubang di tanah untuknya, kemudian
dia diletakkan di dalamnya, kemudian didatangkan gergaji lalu diletakkan di
atas kepalanya; maka dia pun dibelah menjadi dua, dan (ada yang) disisir dengan
sisir besi antara daging dan tulangnya; maka hal itu tidak menghalanginya dari
agamanya. Demi Allah! Perkara (Islam) ini akan sempurna hingga seorang
berkendara dari Shan’a sampai ke Hadhramaut tidak ada yang dia takuti kecuali
Allah dan serigala (yang ditakutkan memakan) kambingnya. Akan tetapi sungguh,
kalian terlalu terburu-buru.”
HR. Al-Bukhari (no. 6943)]
(2)-
Adapun tentang “mengevaluasi manhaj dan uslub dakwah yang dikembangkan”; maka
tentunya evaluasi ini diukur dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah. Dan Allah telah
menjelaskan tentang Manhaj Dakwah yang benar yang Allah syari’atkan untuk para
nabi-Nya -tidak terkecuali Nabi kita Muhammad shallallaahu ‘alaihi wa sallam-,
agar mereka mengawali dan memprioritaskan Dakwah mereka dengan TAUHID:
beribadah hanya kepada Allah saja dan menjauhi -bahkan mengingkari- peribadahan
kepada selain Allah.
Allah
-Subhaanahu Wa Ta’aalaa- berfirman:
وَلَقَدْ بَـعَـثْـنَا
فِـيْ كُلِّ أُمَّةٍ رَسُولا أَنِ اعْـبُـدُوا اللهَ وَاجْـتَـنِـبُوا الطَّاغُوْتَ...
“Dan
sungguh, Kami telah mengutus seorang rasul untuk setiap umat (untuk
menyerukan): “Beribadahlah kepada Allah dan jauhilah Thaghut….” (QS. An-Nahl:
36)
[Thaghut: adalah segala sesuatu yang diibadahi
selain Allah; sebagaimana dikatakan oleh Imam Malik rahimahullaah. Lihat: “Fat-huul
Majiid” (hlm. 44-tahqiiq Syaikh Walid Al-Furayyan)]
Allah
juga berfirman:
وَمَا
أَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ مِنْ رَسُوْلٍ إِلَّا نُوحِيْ إِلَيْهِ أَنَّهُ لَا
إِلٰهَ إِلَّا أَنَا فَاعْبُدُوْنِ
“Dan
Kami tidak mengutus seorang rasul pun sebelum engkau (Muhammad) melainkan Kami
wahyukan kepadanya bahwa tidak ada sesmbahan (yang berhak diibadahi selain Aku,
maka beribadahlah kepada)-Ku.” (QS. Al-Anbiyaa’: 25)”
Dan
Manhaj Dakwah inilah yang dipraktekkan oleh Nabi Muhammad -shallallaallaahu
‘alaihi wa sallam- mulai dari awal beliau berdakwah: sebagaimana disebutkan dalam hadits
dari Rabi’ah bin ‘Ibad Ad-Dili
radhiyallaahu ‘anhu -seorang Shahabat yang mengalami masa Jahiliyyah, kemudian
masuk Islam-, dia berkata: Saya telah melihat Rasulullah -shallallaallaahu
‘alaihi wa sallam- dengan mata kepalaku di
pasar Dzul Majaz, beliau bersabda:
يَا أَيُّهَا
النَّاسُ قُوْلُوْا: لَا إِلٰهَ إِلَّا اللهُ، تُفْلِحُوْا
“Wahai manusia! Katakanlah “Laa Ilaaha
Illallaah”; niscaya kalian akan beruntung.”
Dalam riwayat lain: Saya telah melihat
Rasulullah -shallallaallaahu ‘alaihi wa sallam- berkeliling di Mina di tempat-tempat mereka
-sebelum beliau Hijrah ke Madinah- beliau bersabda:
يَا أَيُّهَا
النَّاسُ، إِنَّ اللهَ -عَزَّ وَجَلَّ- يَأْمُرُكُمْ أَنْ تَعْبُدُوْهُ، وَلَا
تُشْرِكُوْا بِهِ شَيْئًا
“Wahai
manusia! Sesungguhnya Allah -‘Azza Wa Jalla- memerintahkan kepada kalian untuk
beribadah kepada-Nya dan tidak mempersekutukan-Nya dengan suatu apa pun.”
Dia (Rabi’ah) berkata: Dan di belakangnya ada
laki-laki yang berkata: “Orang ini menyuruh kalian untuk meninggalkan agama
nenek moyang kalian!” Maka aku bertanya tentang orang ini, dan ada yang
menjawab: Ini Abu Lahab.
[Shahih: HR. Ahmad (no. 15915 & 18905- cet.
Daarul Hadiits) dan Ath-Thabrani dalam “Al-Mu’jamul Kabiir” (V/61). Riwayat
kedua diriwayatkan oleh ‘Abdullah bin Imam Ahmad (no. 160244-cet. Mu’assasah
Ar-Risaalah) dan Ath-Thabrani dalam “Al-Mu’jamul Kabiir” (V/61). Hadits ini
juga diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah (no. 159) dari Shahabat lain]
“Maka beliau (Rasulullah) -‘alaihish shalaatu
was salaam- memulai (Dakwah) dengan apa yang para nabi memulai dengannya, dan
bertolak seperti mereka; dengan Dakwah mereka: berupa ‘Aqidah Tauhid, mengajak
untuk mengikhlaskan ibadah hanya kepada Allah saja; (Dakwah kepada) “Laa Ilaaha
Illaallaah, Muhammad Rasuulullaah”.
[“Manhajul
Anbiyaa’ Fid Da’wah Ilallaah Fiihil Hikmah Wal ‘Aql” (hlm. 72), karya Syaikh
Doktor Rabi’ bin Hadi Al-Madkhali -hafizhahullaah-]
Maka bandingkanlah dengan apa yang didakwahkan oleh Ustadz
Yazid bin ‘Abdul Qadir Jawas -hafizhahullaah-; dimana beliau sering mengatakan
-pada ceramah-ceramahnya-: “Pembahasan tentang Tauhid harus diulang-ulang terus
sampai ribuan kali.”
(3)- Adapun
“uslub dakwah”; maka apakah yang dimaksud dengan Uslub Dakwah?
Syaikh Doktor Shalih Fauzan -hafizhahullaah- menjelaskan
“Uslub” dan juga “Wasilah”; bahwa:
“-Wasilah-Wasilah (dakwah) adalah:
wasilah-wasilah yang bentuknya benda; seperti alat-alat (bantu dakwah). Maka
bagian ini tidak diharuskan adanya nash (dalil).
- Yang harus ada dalilnya adalah Uslub-Uslub;
atau yang dinamakan dengan Manhaj-Manhaj Dakwah.
Ini kalau Wasilah dan Uslub disebutkan
bersamaan. Adapun kalau keduanya disebutkan secara tersendiri; maka Wasilah
maknanya sama dengan Uslub.”
[Lihat: “Usus Manhaj as-Salaf Fid Da’wah
Ilallaah” (hlm. 122, catatan kaki no. 1), karya Syaikh Fawwaz As-Suhaimi
-hafizhahullaah-]
Jadi, kalau Uslub Dakwah diartikan dengan
Manhaj Dakwah; maka telah dijelaskan sebelumnya bagaimana Manhaj para nabi dan
pengikut mereka dalam berdakwah.
Adapun kalau mau diartikan dengan “cara penyampaian”;
maka:
- cara penyampaian beliau dalam buku-buku
beliau hampir seperti yang dikatakan oleh sebagian Doktor tentang tulisan Imam
Ibnul Qayyim:
“Sungguh, orang yang menelaah rujukan-rujukan Kitab ini;
maka akan dia dapati: pengumpulan berbagai macam nukilan.
Sampai-sampai hampir bisa dipastikan bahwa: KITAB INI
HANYALAH: KUMPULAN BERBAGAI NUKILAN, DAN PENULIS TIDAK PUNYA ANDIL (SELAIN
HANYA MENUKIL).”
[Muqaddimah “Ash-Shawaa-iq Al-Mursalah” (I/103)]
- dan kalau mau diartikan dengan: suara Ustadz Yazid yang
lantang dalam ceramahnya; maka sungguh ini adalah hal yang tidak lucu. Imam
Al-Bukhari -rahimahullaah- membuat bab dalam Shahih-nya, pada Kitabul ‘Ilmi:
“Bab Tentang Orang Yang Mengangkat Suaranya Dalam (Menyampaikan) Ilmu”,
kemudian beliau membawakan hadits (no. 60) tentang Rasulullah -shallallaallaahu
‘alaihi wa sallam- yang menyeru dengan suaranya yang paling tinggi: untuk
menyampaikan ilmu.
[4]-
Perkataan Fathuddin Ja’far:
“Sudah berapa banyak ormas/jamaah
Islam lokal maupun global yang antum sesatkan? Sudah berapa banyak tokoh dakwah
lokal ataupun global yang antum anggap sesat dan ahli neraka tanpa ampun..?!!”
Kalau
yang dimaksud adalah perkataan Ustadz Yazid dalam ceramah-ceramah beliau; maka bagi
yang menelaahnya akan mengetahui bahwa: beliau hampir tidak pernah menyebut “ormas/jamaah
Islam lokal” ataupun “tokoh dakwah lokal ataupun global”; kecuali “jama’ah atau
tokoh global” yang menyimpang dan telah disebutkan penyimpangannya oleh para
ulama.
Adapun
kalau yang dimaksud adalah tulisan-tulisan beliau; maka yang dikenal dengan
penyebutan kelompok-kelompok sesat adalah buku “Mulia Dengan Manhaj Salaf”.
Dan yang
harus diketahui bahwa:
(1)-
Seperti dalam ceramah beliau; maka ketika beliau menulis tentang kelompok
sesat; maka sebagaimana tulisan-tulisan beliau yang lainnya: “INI HANYALAH: KUMPULAN BERBAGAI NUKILAN, DAN PENULIS TIDAK
PUNYA ANDIL (SELAIN HANYA MENUKIL)” sebagaimana telah kita sebutkan tentang
tulisan Imam Ibnul Qayyim.
(2)- Kemudian kita lihat bahwa pembahasan tentang
“Firqah-Firqah Sesat” dalam buku “Mulia Dengan Manhaj Salaf” diletakkan pada
Bab 13, yang sebelumnya telah didahului dengan 12 (dua belas) bab tentang
penjelasan Manhaj Salaf, Manhaj Para Shahabat -radhiyallaahu ‘anhum-. Sehingga
kita mengetahui bahwa fokus pembahasan adalah pada “apa dan bagaimana” Manhaj
Salaf itu. Dan ini sesuai dengan arahan dari Imam Ash-Shan’ani -rahimahullaah-
(penulis Kitab “Subuulus Salaam”):
“Bagusnya,
orang yang melihat hadits [”Iftiraaqul Ummah” (Perpecahan Umat Islam)] tersebut
mencukupkan diri dengan tafsir Nabi terhadap firqah (kelompok yang selamat
tersebut). Nabi -shallallaahu ‘alaihi wa sallam- yang mengajarkan syari’at dan menunjukkan kepada seluruh kebaikan;
beliau sudah mencukupi kebutuhan (umatnya) dengan menunjukkan ”Al-Firqah An-Naajiyah” (golongan
yang selamat), yaitu: yang berada di atas (jalan) Rasulullah -shallallaahu
‘alaihi wa sallam- dan para Shahabatnya.
Alhamdulillaah,
orang yang mempunyai sedikit semangat dalam beragama akan bisa mengetahui
(jalan) Rasulullah -shallallaahu ‘alaihi wa sallam- dan para Shahabatnya.
Perkataan dan perbuatan mereka telah dinukil sehingga sampai kepada kita;
sampai-sampai bagaimana cara mereka makan, minum, tidur, dan keadaan jaga
mereka (telah dinukil juga kepada kita), sehingga kita seolah-olah melihatnya
dengan mata kepala sendiri.
Setelah
itu; barangsiapa yang diberi anugerah oleh Allah dengan rasa adil dan ketidak
berpihakkan dalam dirinya, dan Allah jadikan dia temasuk orang yang berakal;
maka:
Pertama-tama:
tidak akan samar baginya bagaimana keadaan dirinya: apakah dia mengikuti
(jalan) Rasulullah -shallallaahu ‘alaihi wa sallam- dan para Shahabatnya atau
tidak?
Kedua:
tidak akan samar keadaan tiap kelompok: apakah mereka ittibaa’ (mengikuti jalan
Rasulullah -shallallaahu ‘alaihi wa sallam- dan para Shahabatnya-pent) ataukah
(tidak mengikuti alias) berbuat Bid’ah?”
[”Hadiits
Iftiraaqil Ummah” (hlm. 79), karya Imam Ash-Shna’ani -rahimahullaah-]
[5]- Perkataan Fathuddin
Ja’far:
“Antum
wahai ikhwah yang mengklaim Salafiyyun harus bersyukur karena penolakan
masyarakat kepada dakwah antum masih dalam batas toleransi dan terkontrol. Coba
bayangkan jika semua ormas dan jama’ah Islam yang antum sesatkan itu mengamuk
semuanya, mungkin tidak akan ada satu markaz pun atau masjid antum yang
terisisa di nusantara ini.”
أَطَّــلَـعَ
الْغَـيْبَ...
“Adakah dia melihat yang
ghaib?...” (QS. Maryam: 78)
Karena
Rasulullah -shallallaahu
‘alaihi wa sallam- sendiri menyampaikan kepada Ibnu ‘Abbas -radhiyallaahu
‘anhumaa- yang ketika itu masih kecil:
وَلَوْ
اجْتَمَعُوْا عَلَى أَنْ يَضُرُّوْكَ بِشَيْءٍ لَـمْ يَضُرُّوْكَ إِلَّا بِشَيْءٍ
قَدْ كَتَبَهُ اللهُ عَلَيْكَ
“Seandainya mereka (semuat umat) berkumpul
untuk membahayakanmu; maka mereka tidak dapat membahayakanmu kecuali dari apa
yang Allah tetapkan atas dirimu.”
[HR. At-Tirmidzi (no. 2516). Lihat: “Wasiat
Nabi Kepada Ibnu ‘Abbas” dan “Syarah Arba’in An-Nawawi” (no. 19), yang keduanya
ditulis oleh Fadhilatul Ustadz Yazid bin ‘Abdul Qadir Jawas -hafizhahullaah-]
Allah -Ta’aalaa- berfirman tentang para
Shahabat Nabi:
الَّذِيْنَ
قَالَ لَـهُمُ النَّاسُ إِنَّ النَّاسَ قَدْ جَـمَعُوْا لَكُمْ فَاخْشَوْهُمْ
فَزَادَهُمْ إِيْـمَانًا وَقَالُوْا حَسْبُنَا اللهُ وَنِعْمَ الْوَكِيْلُ
“(Yaitu)
orang-orang (yang menaati Allah dan Rasul) yang ketika ada orang-orang yang
mengatakan kepadanya: “Orang-orang (Quraisy) telah mengumpulkan pasukan untuk
menyerang kamu, karena itu takutlah kepada mereka.” Ternyata (ucapan) itu
menambah (kuat) iman mereka dan mereka menjawab: “Cukuplah Allah (menjadi
Penolong) bagi kami dan Dia sebaik-baik Pelindung.”.” (QS. Ali ‘Imraan: 173)
Maka kita juga katakan di sini:
حَسْبُنَا
اللهُ وَنِعْمَ الْوَكِيْلُ
“Cukuplah
Allah (menjadi Penolong) bagi kami dan Dia sebaik-baik Pelindung.”
[6]- Perkataan Fathuddin
Ja’far:
“Hal lain yang perlu
dikoreksi adalah konsep ulil amri yang antum dakwahkan. Antum seakan memaksakan
konsep ulil amri yang berbau “murjiah” yang kalau kita telaah tulisan atau
fatwa-fatwa ulama besar sepanjang masa semisal Syaikh Bin Baz dll
tulisan-tulisan antum sangatlah berbahaya. Antum samakan antara negara yang
menjadikan Islam agama resmi dan Qur’an-Sunnah sebagai sumber hukum dengan
pemerintah yang menolak Al-Qur’an & As-Sunnah sebagi sumber hukum negara seperti
Indonesia dan sebagainya.”
Kalau
dikatakan bahwa Ustadz Yazid menyamakan secara mutlak antara Negara yang
berhukum dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah dengan Negara yang tidak berhukum
dengan keduanya; maka ini tidak benar, karena beliau telah menjelaskan tentang wajibnya
berhukum dengan hukum Allah dalam buku “SYARAH ‘AQIDAH AHLUS SUNNAH WAL
JAMA’AH” PADA PRINSIP KE-47: “Berhukum Dengan Apa Yang Diturunkan Allah” (hlm.
396-401- cet. ke-15).
Adapun
tentang ketaatan kepada ulil amri sebuah negara yang tidak berhukum dengan
Al-Qur’an dan As-Sunnah; maka As-Sunnah
telah menjelaskan bahwa: PENGUASA YANG WAJIB DITA’ATI ADALAH SEORANG MUSLIM,
WALAUPUN DIA TIDAK BERHUKUM DENGAN HUKUM YANG ALLAH TURUNKAN KEPADA RASUL-NYA,
sebagaimana yang beliau sabdakandalam hadits Hudzaifah:
((يَكُوْنُ
بَعْدِيْ أَئِمَّةٌ
لَا يَهْتَدُوْنَ بِـهُدَايَ وَلَا يَسْتَنُّوْنَ بِسُنَّتيْ، وَسَيَقُوْمُ
فِيْهِمْ رِجَالٌ قُلُوْبُهُمْ قُلُوْبُ الشَّيَاطِيْنِ فِـيْ جُثْمَانِ
إِنْسٍ)) قُلْتُ: كَيْفَ أَصْنَعُ يَا رَسُوْلَ اللهِ إِنْ أَدْرَكْتُ ذٰلِكَ؟ قَالَ: ((تَسْمَعُ وَتُطِيْعُ
لِلأَمِيْرِ وَإِنْ ضُرِبَ ظَهْرُكَ، وَأُخِذَ مَالُكَ؛ فَاسْـمَعْ وَأَطِعْ))
“Akan ada setelahku: PARA IMAM (PEMIMPIN) YANG
TIDAK MENGAMBIL PETUNJUK DARIKU DAN TIDAK MENGAMBIL SUNNAHKU. Dan akan ada sekelompok lelaki di
antara mereka yang hati mereka adalah hati setan dalam tubuh manusia.” Aku (Huidzaifah) bertanya:
Apa yang harus aku lakukan apabila aku menemui yang demikian; wahai Rasulullah? Beliau menjawab: “ENGKAU DENGAR DAN TA’AT
KEPADA PEMIMPIN; walaupun dia
memukul punggungmu dan mengambil hartamu, maka dengar dan taatlah!” [HR.
Muslim (no. 1847)]
[7]-
Perkataan Fathuddin Ja’far tentang Persatuan Kebin Binatang; maka jelas sekali bahwa
yang dimaksud adalah persatuan semu yang tidak dilandasi kesamaan ‘aqidah. Dan
persatuan semacam ini tidak akan berhasil.
Syaikh Doktor Shalih bin Fauzan Al-Fauzan -hafizhahullaah-
berkata:
“Kalau mereka menginginkan persatuan kaum muslimin: maka
mereka harus memperbaiki ‘aqidah terlebih dahulu, (agar sesuai dengan) ‘aqidah
yang para rasul -dari yang pertama sampai yang terakhir- memberikan perhatian
terhadapnya, mereka mengawali (dakwah mereka) dengan (‘aqidah) tersebut.
Maka (kaum muslimin) harus menyatukan ‘aqidah terlebih dahulu,
kalau mereka sudah menyatukan ‘aqidah; niscaya umat akan bersatu. Ini JIKA
MEREKA MEMANG MEMILIKI KESUNGGUHAN DAN KETULUSAN DALAM DAKWAH MEREKA. Akan
tetapi (kenyataannya) mereka memperolok-olok orang (da’i) yang berbicara tentang
‘aqidah, mereka mengatakan: “(DA’I) INI MENGKAFIRKAN MANUSIA! DIA INGIN MEMECAH
BELAH KAUM MUSLIMIN! DIA INGIN INI DAN ITU!” dan seterusnya.
Maka kita katakan kepada mereka: Kalian tidak akan bisa
menyatukan kaum muslimin kecuali di atas ‘aqidah yang benar, karena kalau ‘aqidah
sudah disatukan; baru umat akan bersatu dengan mudah. (Allah -Ta’aalaa-
berfirman:)
....هُوَ
الَّذِي أَيَّدَكَ بِنَصْرِهِ وَبِالْمُؤْمِنِيْنَ * وَأَلَّفَ بَيْنَ قُلُوْبِـهِمْ
لَوْ أَنْفَقْتَ مَا فِي الْأَرْضِ جَـمِيْعًا مَا أَلَّفْتَ بَيْنَ قُلُوْبِـهِمْ
وَلَٰكِنَّ اللهَ أَلَّفَ بَيْنَهُمْ إِنَّهُ عَزِيْزٌ حَكِيْمٌ
“...Dialah (Allah) yang memperkuatmu dengan pertolongan-Nya
dan dengan para mukmin, dan Yang mempersatukan hati mereka (orang-orang yang
beriman). Walaupun kamu membelanjakan semua (kekayaan) yang berada di bumi,
niscaya kamu tidak dapat mempersatukan hati mereka, akan tetapi Allah telah
mempersatukan hati mereka. Sesungguhnya Dia Maha Gagah lagi Maha Bijaksana.”
(QS. Al-Anfaal: 62-63)
(Allah juga berfirman:)
وَاعْتَصِمُوْا بِـحَبْلِ اللهِ جَـمِيْعًا وَلَا تَفَرَّقُوْا
وَاذْكُرُوْا نِعْمَتَ اللهِ عَلَيْكُمْ إِذْ كُنْتُمْ أَعْدَاءً فَأَلَّفَ بَيْنَ
قُلُوْبِكُمْ فَأَصْـبَحْتُمْ بِـنِعْـمَـتِـهِ إِخْـوَانًا وَكُـنْـتُمْ عَلَىٰ
شَفَا حُفْرَةٍ مِنَ النَّارِ فَأَنْقَذَكُمْ مِنْهَا كَذٰلِكَ يُـبَـيّـِنُ اللهُ
لَكُمْ آيَاتِهِ لَعَلَّكُمْ تَهْتَدُوْنَ
“Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah,
dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu
ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan
hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah, orang-orang yang bersaudara;
dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari
padanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu
mendapat petunjuk.” (QS. Ali ‘Imraan: 103)
Maka tidak akan bisa menyatukan manusia kecuali ‘aqidah yang
benar, yang dibawa oleh para rasul dari yang pertama sampai yang terakhir
(yaitu) Nabi Muhammad.”
[“It-haaful Qaarii Bit Ta'liiqaat ‘Alaa Syarhis Sunnah Lil
Imam Al-Barbahari” (I/42)]
Adapun
permisalan dengan binatang; maka Allah juga telah mnggunakannya dalam
Al-Qur’an.
Allah -Ta’aalaa- berfirman:
وَلَقَدْ
ذَرَأْنَا لِـجَهَنَّمَ كَثِيْرًا مِنَ الْـجِنِّ وَالْإنْسِ لَـهُمْ قُلُوْبٌ لَا
يَفْقَهُوْنَ بِـهَا وَلَـهُمْ أَعْيُنٌ لَا يُبْصِرُوْنَ بِـهَا وَلَـهُمْ آذَانٌ
لَا يَسْمَعُوْنَ بِـهَا أُولٰئِكَ كَالأنْعَامِ بَلْ هُمْ أَضَلُّ أُولٰئِكَ هُمُ
الْغَافِلُوْنَ
“Dan sungguh, akan Kami isi neraka Jahanam:
banyak dari kalangan jin dan manusia. Mereka mempunyai hati; tetapi tidak
dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah), dan mereka mempunyai mata;
(tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan
mereka mempunyai telinga; (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar
(ayat-ayat Allah). Mereka itu seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih
sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai.” (QS. Al-A’raaf: 179)
Allah juga berfirman:
أَمْ تَـحْسَبُ
أَنَّ أَكْثَرَهُمْ يَسْمَعُوْنَ أَوْ يَعْقِلُوْنَ إِنْ هُمْ إِلَّا كَالأنْعَامِ
بَلْ هُمْ أَضَلُّ سَبِيْلًا
“Atau apakah engkau mengira bahwa kebanyakan
mereka itu mendengar atau memahami? Mereka itu hanyalah seperti binatang
ternak, bahkan mereka lebih sesat jalannya (dari binatang ternak itu).” (QS.
Al-Furqan: 44)
[8]-
Perkataan Fathuddin Ja’far tentang “khilafiyah
(khususnya dalam perkara furu’ dan perkara-perkara al-mutaghayyirat)”
Terkhusus
untuk Ustadz Yazid; maka pembahasan beliau untuk masalah ini tidaklah sebanyak
pembahasan beliau tentang ‘aqidah, ittiba’ (mengikuti) Rasulullah, dan juga
mengikuti Manhaj Salaf (Manhaj Para Shahabat). Bahkan orang awam yang mengikuti
ceramah-ceramah baliau akan merasakan bahwa: pembahasan beliau seakan
diulang-ulang saja seputar Tauhid dan Ittiba’ serta wajibnya mengikuti Manhaj
Salaf, sampai-sampai banyak dari orang-orang awam juga hafal dalil-dalilnya.
[9]- Perkataan Fathuddin
Ja’far tentang “iba dan kasih sayang” terhadap umat; maka tentu Rasulullah
-shallallallaahu ‘alaihi wa sallam-: beliaulah yang paling sayang terhadap
umatnya. Allah -Subhaanhau Wa Ta’aalaa- berfirman:
لَقَدْ
جَاءَكُمْ رَسُوْلٌ مِنْ أَنْفُسِكُمْ عَزِيْزٌ عَلَيْهِ مَا عَنِتُّمْ حَرِيْصٌ
عَلَيْكُمْ بِالْمُؤْمِنِيْنَ رَءُوْفٌ رَحِيْمٌ
“Sungguh,
telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya
penderitaan yang kamu alami, (dia) sangat menginginkan (keimanan dan
keselamatan) bagimu, AMAT BELAS KASIH DAN PENYAYANG KEPADA ORANG-ORANG YANG
BERIMAN.” (QS. At-Taubah: 128)
Dan dengan kasih sayangnya; beliau telah
memperingatkan umatnya dari kesyirikan:
وَلَا
تَقُوْمُ السَّاعَةُ حَتَّى تَلْحَقَ قَبَائِلُ مِنْ أُمَّتِيْ بِالْمُشْرِكِيْنَ،
وَحَتَّى تَعْبُدَ قَبَائِلُ مِنْ أُمَّتِي الْأَوْثَانَ
“Dan Hari Kiamat tidak akan tegak; sebelum
adanya sekelompok dari umatku yang mengikuti orang-orang musyrik; dan sebelum
adanya segolongan dari umatku menyembah berhala.” [HR. Abu Dawud (no. 4252)]
Beliau juga memperingatkan umatnya dari hal-hal
yang bisa mengantarkan kepada kesyirikan, beliau bersabda:
أَلَا وَإِنَّ
مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ كَانُوْا يَـتَّخِذُوْنَ قُبُوْرَ أَنْبِيَائِهِمْ وَصَالِـحِيْهِم
مَسَاجِدَ، أَلَا فَلَا تَتَّخِذُوا الْقُبُوْرَ مَسَاجِدَ؛ فَإِنِّيْ أَنْهَاكُمْ
عَنْ ذٰلِكَ
“Ketahuilah,
bahwa sesungguhnya umat-umat sebelum kalian telah menjadikan kuburan para nabi dan
orang-orang shalih mereka sebagai tempat ibadah. Ingatlah, janganlah kalian
menjadikan kuburan sebagai tempat ibadah, karena aku benar-benar melarang
kalian dari perbuatan itu!” [HR. Muslim (no. 532)]
Sebagaiamana Rasulullah
-shallallallaahu ‘alaihi wa sallam- dengan kasih sayang beliau terhadap
umatnya: memperingatkan umatnya dari perkara-perkara yang baru dalam agama, dan
menamakannya dengan Bid’ah, dan beliau kabarkan bahwa semua Bid’ah itu sesat,
dan semua kesesatan tempatnya adalah di Neraka, beliau mengulang-ulang sabda
beliau dalam “Khuthbatul Haajah”
(pembukaan yang sering beliau ulang-ulang dalam ceramah-ceramah dan
khuthbah-khuthbah beliau):
أَمَّا
بَعْدُ، فَإِنَّ خَيْرَ الْـحَدِيْثِ كِتَابُ اللهِ، وَخَيْرَ الْـهُدَى هُدَى
مُـحَمَّدٍ، وَشَرَّ الأُمُوْرِ مُـحْدَثَاتُهَا، [وَكُلَّ مُـحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ]،
وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ، [وَكُلَّ ضَلَالَةٍ فِيْ النَّارِ]
“Amma
ba’du. Sungguh, sebaik-baik perkataan adalah Kitabullah (Al-Qur’an), dan
sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Nabi Muhammad (As-Sunnah), dan
seburuk-buruk perkara adalah perkara yang diada-adakan (dalam agama), [karena setiap
yang diada-adakan (dalam agama) adalah bid’ah], dan setiap bid’ah adalah sesat,
[dan setiap kesesatan tempatnya di Neraka].”
[Shahih: HR. Muslim (no. 867), An-Nasaa-i (no.
1578-cet. Maktabah al-Ma’aarif) dan lainnya. Tambahan dalam kurung adalah milik
An-Nasaa-i]
[10]- Penutup
Inilah sya bisa kami komentari dari tulisan
Fathuddin Ja’far yang ditujukan kepada Ustadz Yazid bin ‘Abdul Qadir Jawas,
semoga bermanfaat bagi penulis pribadi dan kaum muslimin yang membacanya.
سُبْحَانَكَ
اللّٰهُمَّ وَبِـحَمْدِكَ، أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ أَسْتَغْفِرُكَ
وَأَتُوبُ إِلَيْكَ
-ditulis
oleh: Ahmad Hendrix-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar