Jumat, 08 Desember 2017

KAJIAN 'AQIDAH THAHAWIYYAH (3)

MATAN (REDAKSI) KITAB:
Imam Ath-Thahawi rahimahullaah berkata:
[١١]- خَالِقٌ بِلَا حَاجَةٍ، رَازِقٌ بِلَا مُؤْنَةٍ.
[11]- “Yang Menciptakan (makhluk) tanpa membutuhkan (pada ciptaan-Nya), Yang Memberi rizki tanpa pernah terbebani.”
PENJELASAN:
Sesungguhnya Allah adalah yang menciptakan makhluk dan Allah tidak butuh kepada mereka, akan tetapi mereka diciptakan agar beribadah kepada Allah. Dan Allah adalah Yang Maha Pemberi Rizki kepada makhluknya, sedangkan tugas mereka hanyalah mewujudkan tujuan mereka diciptakan; yaitu: beribadah kepada Allah aaja.
Sehingga, seorang hamba tidak selayaknya -ketika mencari rizki-: menerjang apa yang Allah larang, karena tujuan hidup seorang makhluk di dunia adalah untuk beribadah kepada Allah dan bukan untuk mementingkan urusan keduniaan. Sifat semacam ini (hidup hanya untuk kesenangnan dunia): merupakan sifat orang-orang kafir, sebagaimana Allah berfirman:
{...وَالَّذِينَ كَفَرُوا يَتَمَتَّعُونَ وَيَأْكُلُونَ كَمَا تَأْكُلُ الأنْعَامُ وَالنَّارُ مَثْوًى لَهُمْ}
“…Dan orang-orang yang kafir menikmati kesenangan (dunia), dan mereka makan seperti hewan makan; dan (kelak) nerakalah tempat tinggal mereka.” (QS. Muhammad:12)
Adapun hamba yang diberikan petunjuk oleh Allah; maka mereka yakin bahwa Allah lah yang akan memberi rizki kepadanya, sebagaimana firman-Nya:
{وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالإنْسَ إِلا لِيَعْبُدُونِ * مَا أُرِيدُ مِنْهُمْ مِنْ رِزْقٍ وَمَا أُرِيدُ أَنْ يُطْعِمُونِ * إِنَّ اللَّهَ هُوَ الرَّزَّاقُ ذُو الْقُوَّةِ الْمَتِينُ}
”Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku. Aku tidak menghendaki rezeki sedikit pun dari mereka dan Aku tidak menghendaki agar mereka memberi makan kepada-Ku. Sungguh Allah, Dialah Pemberi Rezeki yang mempunyai kekuatan lagi sangat kokoh.” (QS. Adz-Dzaariyat: 56-58)
Setiap hamba yang tujuan hidupnya hanya untuk beribadah kepada Allah: melaksanakan apa yang Allah perintahkan serta menjauhi apa yang Allah larang, yakni: dia bertaqwa kepada Allah; maka kebutuhannya akan Allah cukupi, sebagaimana firman-Nya:
{وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجًا * وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لا يَحْتَسِبُ وَمَنْ يَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُ إِنَّ اللَّهَ بَالِغُ أَمْرِهِ قَدْ جَعَلَ اللَّهُ لِكُلِّ شَيْءٍ قَدْرًا}
“...Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan membukakan jalan keluar baginya. Dan Dia memberinya rezeki dari arah yang tidak disangka-sangka. Dan barangsiapa bertawakal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupkan (keperluannya). Sesungguhnya Allah melaksanakan utusan-nya. Sungguh, Allah telah mengadakan ketentuan bagi setiap sesuatu.” (QS. Ath-Thalaq: 2-3)
Sesungguhnya kewajiban seorang hamba adalah beribadah kepada Allah, agar dia dekat dengan-Nya, karena tidak ada kebahagiaan yang haqiqi yang dapat dirasakan oleh hamba kecuali dengan dekat kepada Allah Subhanaahu Wa Ta’aalaa.
Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah rahimahullaah berkata:
“Kelezatan yang sempurna, kegembiraan, kesenangan, kenyamanan hidup dan kenikmatan; hanya bisa didapat dengan: mengenal Allah, mentauhidkan-Nya, senang dengan (kedekatan)Nya, rindu untuk bertemu dengan-Nya, terkumpulnya hati dan keinginan kepada-Nya. Dan hidup yang paling susah adalah: Kehidupan orang yang hatinya bercabang dan keinginannya terpecah belah, hatinya tidak mempunyai tempat menetap dan tidak ada kecintaan untuk mengikat hatinya. Sebagaimana seorang penyair berkata:
وَمَـــــا ذَاقَ طَــــعْـمَ اْلــــعَـــيْــــشِ مَــــنْ لَـــمْ يَـــــكُنْ لَـــهُ
 حَـــــبِـــــيْــــبٌ إِلَـــــيْـــــِه يَـــــطْــــمَــــِئـــــنُّ وَيـَــــسْــــــكُـــــنُ
Tidak merasakan kenikmatan hidup: orang yang tidak mempunyai
sesuatu yang dicintai; yang hatinya tenang dan diam padanya
Hidup yang baik dan bermanfaat, serta kesenangan dalam ketenangan dan ketentraman: terdapat pada cinta yang pertama, walaupun hati pernah berpindah-pindah kepada semua cinta (yang lain); maka hati itu tidak akan senang sampai merasa tenteram dengan Ilaah (sesembahan)nya, Rabb-nya dan pelindungnya (yaitu: Allah), yang tidak ada baginya pelindung dan pemberi syafaat kecuali Dia, dan tidak ada kecukupan baginya dari Allah sekejap matapun. Seperti perkataan penyair:
نَـــقِّــلْ فُــؤَادَكَ حَــــــــــيْــــثُ شِــــــــئْـــــــــتَ مِـــــــــنَ الْــــــهَـــــوَى
مـَــــا الْـــــــحُـــــبُّ إِلَّا لِلْـــــحَـــــــبِـــــــيْـــــــبِ اْلَأوَّلِ
كَــــــــمْ مـَــــــــنْـــــــزِلٍ فِـــي الْأَرْضِ يـَـــــأْلَــفُــــهُ الْـــــفَــــــــتَــــــــــى
 وَحَــــــــِنـــــــــيـْـــــــنُـــــــهُ أَبــَـــــداً لِأَوَّلِ مَـــــنْـــــــزِلِ
Silahkan pindahkan hatimu sesuai dengan keinginanmu
tidak ada kecintaan kecuali bagi cinta pertama.
Berapa banyak rumah yang disinggahi sang pemuda
tetapi kesenangannya -selama-lamanya- hanya pada persinggahan pertama
Berusahalah agar tujuanmu hanya satu; yaitu Allah saja, dan ini merupakan puncak kebahagiaan seorang hamba. Dan orang yang keadaannya seperti ini; dia berada pada Surga dunia sebelum Surga akhirat, dan berada dalam nikmat yang disegerakan. Sebagaimana dikatakan sebagian orang shalih: “Sungguh, dalam waktu-waktu tertentu (karena kebahagian yang sangat-pent) aku sampai berkata: Kalaulah penghuni Surga berada dalam (kebahagiaan) semisal ini; maka sungguh mereka berada dalam kehidupan yang baik.” Dan orang (shalih) yang lain berkata: “Sungguh, pada waktu-waktu tertentu hati ini benar-benar sangat bahagia.”  Dan yang lain berkata: “Kasihan penduduk dunia; mereka  keluar darinya (mati) dan belum merasakan hal yang ternikmat didalamnya.” Maka dia ditanya: Apakah hal yang ternikmat di dunia? Dia menjawab: “Mengenal Allah, cinta kepada-Nya, senang untuk dekat dengan-Nya dan rindu untuk bertemu dengannya.” Tidak ada kenikmatan di dunia ini yang menyerupai kenikmatan penghuni Surga melainkan hal ini.”[1]
Adapun seseorang yang tidak dekat dengan Allah dan ia lebih memilih dekat dengan dunia maka ini merupakan kebahagiaan yang semu dan sementara yang hanya dirasakan sebentar dan akan berpindah-pindah -kebahagiaan dunianya seperti: harta dan sejenisnya- kepada kecintaan yang lainnya.
Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah rahimahullaah berkata:
“Maka di kehidupan dunia ini: hamba diuji dengan (1)syahwatnya, (2)keinginan jiwa (hawa nafsu)nya yang senantiasa memerintahkan kepada kejelekan, (3)setan (yang ada pada)nya yang berusaha menyesatkannya dan menghias-hiasi (kebatilan), serta (4)teman-temannya (yang jelek). Belum lagi (5)(kenikmatan dunia) yang dia lihat dan dia saksikan; yang kesabarannya tidak mampu untuk menahannya. Hal itu ditambah dengan (6)kelemahan iman dan keyakinan, (7)lemahnya hati, (8)pahitnya kesabaran, (9)merasakan manisnya kenikmatan dunia, (10)kecondongan jiwa terhadap perhiasan kehidupan dunia, serta (11)balasan (kebaikan) yang disediakan nanti di negeri lain (akhirat) bukan di negeri ini (dunia), padahal dunia adalah tempat dia diciptakan dan dia tumbuh. Maka dia dibebani untuk meninggalkan syahwat yang sekarang dan bisa disaksikan, demi untuk mencari suatu yang ghaib yang dia dituntut untuk mengimaninya.”[2]
Beliau berkata:
“Dan inilah keadaan kebanyakan manusia: saling tarik-menarik (pada dirinya) dua penyeru:
(1)- penyeru kepada (kenikmatan) kehidupan dunia dan untuk lebih mengutamakannya, dan ini merupakan penyeru terkuat baginya; karena (kehidupan dunia) dapat disaksikan dan dirasakan,
(2)- penyeru kepada akhirat, dan ini merupakan penyeru yang lebih lemah, karena hanya menyerukan dengan perantaraan pendengaran (dalil syar’i), dimana keyakinan belum memasuki hatinya dan belum merasakan hakikat ilmunya…
Penyakit inilah yang mencegah jiwa untuk bersiap-siap dalam menghadapi akhirat dan untuk berusaha ke arah itu, yaitu penyakit: lemahnya keilmuan dan keyakinan terhadap akhirat. Karena, kalaulah di dalam hati: terdapat keyakinan yang pasti (terhadap akhirat) yang tidak disertai keraguan sedikitpun; pasti tidak akan meremehkannya dan ada semangat untuk mendapatkannya. Oleh karena itulah jika dihadapkan kepada seseorang: makanan yang sangat baik dan lezat, sedangkan dia sangat membutuhkannya, kemudian dikatakan kepadanya: “makanan ini beracun”; maka tentulah dia tidak akan memakannya, karena dia mengetahui akibat jelek yang akan dia dapatkan, yang melebihi kenikmatan ketika dia memakannya. Maka kenapa keimanan terhadap akhirat di dalam hati kedudukannya tidak seperti ini? Tidaklah hal itu melainkan karena lemahnya pohon ilmu dan keimanan, serta tidak menetap di dalam hati.”[3]
Jika seorang hamba telah mengetahui bahwa tujuan dia diciptakan adalah untuk beribadah kepada Allah, dan bahwa dengan mewujudkan ibadah ini dia akan mendapatkan kebahagiaan di dunia dan di akhirat; maka dia harus mengetahui 4 (empat) kaidah dalam beribadah:
Imam Ibnul Qayyim Al-Jauziyyah rahimahullah menjelaskan[4] tentang seseorang yang ingin mewujudkan kalimat “iyyaaka na’budu” (hanya kepada Engkaulah kami beribadah); maka harus dibangun di atas 4 (empat) kaidah:
Hamba harus meneliti dengan pasti terhadap apa yang Allah dan Rasul-Nya cintai dan ridhai, berupa: (1)perkataan hati, (2)perkataan lisan, (3)amalan hati, dan (4)amalan anggota badan. 
Oleh karenanya, istilah “’ubuudiyyah” adalah: nama yang mencakup 4 (empat) martabat ini. Akan tetapi seseorang tidak akan bisa mewujudkan “’ubuudiyyah” dengan 4 (empat) martabatnya ini kecuali dengan ilmu (meneliti dengan pasti).
Sehingga wajar kalau Imam Ibnul Qayyim rahimahullaah berkata: “Dan sungguh, kebutuhan hamba terhadap ilmu (syar’i) sangat mendesak melebihi kebutuhan badan(nya) terhadap makanan.”[5]
Adapun rincian tentang 4 (empat) tingkatan “’ubuudiyyah” di atas adalah:
1. Qoulul Qalbi (perkataan hati); yakni: meyakini apa yang Allah kabarkan tentang diri-Nya, nama-nama dan sifat-sifat-Nya, serta perbuatan-Nya, malaikat-malaikat-Nya, hari kebangkitan dan selainnya. Yakni bahwa rincian ingkatan tpertama ini berkaitan dengan ‘Aqidah. 
2. Qoulul Lisaan (perkataan lisan); yaitu: mengabarkan tentang ‘Aqidah (keyakinan) kita, serta mendakwahkan tentang ‘Aqidah yang shahih kepada orang lain, dan juga membelanya, menjelaskan bid’ah-bid’ah yang menyelisihi ‘Aqidah kita.
Dan juga termasuk dari perkataan lisan ini adalah: berdzikir kepada Allah Subhaanahu Wa Ta’aalaa dengan berbagai macam jenisnya. 
3. ‘Amalul Qalbi (amalan hati); yaitu: pergerakan hati, seperti: cinta kepada Allah, tawakkal kepadaN, takut dan harap hanya kepada Allah, mengikhlaskan ibadah hanya kepada Allah, kemudian bersabar dalam menjalankan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya, serta bersabar atas taqdir Allah.
Amalan hati ini merupakan amalan yang lebih wajib dari pada wajibnya amalan anggota badan, dan sayangnya banyak orang tidak memperhatikannya. Bahkan yang membedakan antara orang mukmin dengan orang munafiq adalah dari hatinya, karena amalan anggota badannya sama dengan orang mukmin: baik shalatnya, syahadatnya, dan sebagainya. Sebagaimana Allah berfirman:
{إِذَا جَاءَكَ الْمُنَافِقُونَ قَالُوا نَشْهَدُ إِنَّكَ لَرَسُولُ اللَّهِ وَاللَّهُ يَعْلَمُ إِنَّكَ لَرَسُولُهُ وَاللَّهُ يَشْهَدُ إِنَّ الْمُنَافِقِينَ لَكَاذِبُونَ}
“Apabila orang-orang munafiq datang kepadamu (Muhammad), mereka berkata : “Kami mengakui, bahwa engkau adalah Rasul Allah.” Dan Allah mengetahui bahwa engkau benar-benar Rasul-Nya; dan Allah menyaksikan bahwa orang-orang munafiq itu benar-benar pendusta.” (QS. Al-Munafiqun: 1)
4. Amalan anggota badan, seperti: shalat, jihad, melangkahkan kaki untuk menuju shalat jama’ah, menolong orang yang lemah, berbuat baik kepada makhluk, dan lain sebagainya dari amalan-amalann yang dilakukan deng anggota badan. 
Kesimpulannya adalah bahwa: untuk mewujudkan kalimat “iyyaaka na’budu” (hanya kepada Engkaulah kami beribadah): adalah dengan 4 (empat) perkara ini. Kemudian kalimat “wa iyyaaka nasta’iin” (dan hanya kepada Engkaulah kami mohon pertolongan): adalah meminta pertolongan kepada Allah dalam mewujudkan 4 (empat) perkara diatas. Dan pada kalimat “ihdinash shiraathal mustaqaim” (tunjukilah kami jalan yang lururs): adalah meminta petunjuk agar bisa mengenal dan mengetahui “iyyaaka na’budu wa iyyaaka nasta’iin” secara rinci, petunjuk untuk mengamalkannya, dan menempuh jalan orang-orang yang telah menempuhnya.
Perkataan Imam Ath-Thahawi rahimahullah:
رَازِقٌ بِلَا مُؤْنَةٍ
Yang Memberi rizki tanpa pernah terbebani.”
Maka Allah akan memberikan Rizki kepada para hamba-Nya apabila mereka meminta kepada-Nya., sebagaimana firman Allah:
{وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌ أُجِيبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ إِذَا دَعَانِ فَلْيَسْتَجِيبُوا لِي وَلْيُؤْمِنُوا بِي لَعَلَّهُمْ يَرْشُدُونَ}
“Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu (Muhammad) tentang Aku; maka sesungguhnya Aku dekat. Aku akan kabulkan permohonan orang yang berdo’a apabila dia berdo’a kepada-Ku. Maka hendaklah mereka itu memenuhi (perintah)-Ku dan beriman kepada-Ku, agar mereka memperoleh kebenaran.” (QS. Al-Baqarah: 186)
Dan jika semua hamba meminta kepada Allah; maka tidaklah sedikitpun berkurang apa yang ada disisi-Nya, sebagaimana yang Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam riwayatkan dari Rabb-Nya (hadits qudsi):
يَا عِبَادِي لَوْ أَنَّ أَوَّلَكُمْ وَآخِرَكُمْ وَإِنْسَكُمْ وَجِنَّكُمْ قَامُوا فِي صَعِيدٍ وَاحِدٍ فَسَأَلُونِي فَأَعْطَيْتُ كُلَّ إِنْسَانٍ مَسْأَلَتَهُ، مَا نَقَصَ ذَلِكَ مِمَّا عِنْدِي إِلَّا كَمَا يَنْقُصُ الْمِخْيَطُ إِذَا أُدْخِلَ الْبَحْرَ
“Wahai hamba-hamba-Ku! Seandainya orang pertama dan terakhir dari kalian, manusia dan jin dari kalian: kalian semua berada di satu tanah lapang, kemudian setiap dari kalian meminta kepada-Ku, lalu Aku memberikan permintaannya itu; maka hal itu tidak akan mengurangi apa yang ada di sisi-Ku, kecuali seperti jarum yang mengurangi air laut jika dimasukkan ke dalamnya.”[6]
MATAN (REDAKSI) KITAB:
Imam Ath-Thahawi rahimahullaah berkata:
[١٢]- مُـمِيْتٌ بِلَا مَـخَافَةٍ، بَاعِثٌ بِلَا مَشَقَّةٍ.
[11]- “Dia yang mematikan makhluk tanpa gentar, Dia yang membangkitkan (sesudah kematian) tanpa ada kesulitan.”
PENJELASAN:
“Dia yang mematikan makhluk tanpa gentar”
Sesungguhnya Allah mematikan setiap makhluk -tatkala sudah sampai ajalnya-: bukan berarti Allah takut kepada mereka dan bukan agar dia aman dari mereka, akan tetapi karena hikmah Allah yang menuntut untuk mematikannya. Jadi, dimatikannya makhluk bukan berarti kalau tidak dimatikan maka dapat mendatangkan mudharat bagi Allah Subhaanahu Wa Ta’aalaa. 

“Dia yang membangkitkan (sesudah kematian) tanpa ada kesulitan”
Sesungguhnya merupakan suatu kemudahan bagi Allah untuk membangkitkan setiap hamba-Nya. Maka suatu hal yang mengherankan adalah: penolakan orang-orang kafir terhadap hari kebangkitan, seperti yang Allah firmankan:
{أَوَلَمْ يَرَ الإنْسَانُ أَنَّا خَلَقْنَاهُ مِنْ نُطْفَةٍ فَإِذَا هُوَ خَصِيمٌ مُبِينٌ * وَضَرَبَ لَنَا مَثَلا وَنَسِيَ خَلْقَهُ قَالَ مَنْ يُحْيِي الْعِظَامَ وَهِيَ رَمِيمٌ * قُلْ يُحْيِيهَا الَّذِي أَنْشَأَهَا أَوَّلَ مَرَّةٍ وَهُوَ بِكُلِّ خَلْقٍ عَلِيمٌ}
“Dan tidaklah manusia memperhatikan bahwa Kami menciptakannya dari setetes mani, ternyata dia menjadi musuh yang nyata! Dan dia membuat perumpamaan bagi Kami dan melupakan asal kejadiannya; dia berkata: “Siapakah yang dapat menghidupkan tulang-belulang, yang telah hancur luluh?” Katakanlah (Muhammad): “Yang akan menghidupkannya ialah (Allah) yang menciptakannya pertama kali. Dan Dia Maha Mengetahui tentang segala sesuatu.”.” (QS. Yasin: 77-79)
Allah lah yang menciptakannya pertama kali yang sebelumnya tidak ada sama sekali, sehingga Allah telah mengadakannya setelah sebelumnya tidak ada. Maka Allah yang telah menciptakan manusia setelah sebelumnya tidak ada: bukankah Dia lebih mampu untuk mengembalikannya? Ini dari segi pandangan akal.[7]
MATAN (REDAKSI) KITAB:
Imam Ath-Thahawi rahimahullaah berkata:
[١٣]- مَا زالَ بِـصِفَاتِهِ قَديْـمًا قَبْلَ خَلْقِهِ
[١٤]- لَـمْ يَزدَدْ بِكَوْنِـهِم شَــيْئًــا لَـمْ يكنْ قَبلَهُم مِنْ صِفَتِهِ
[١٥]- وَكَمَا كَانَ بِصِفَاتِهِ أَزَلِـيًّا؛ كَذٰلِكَ لَا يَزَالُ عَلَيْهَا أَبَدِيًّـا
[13]- “Allah senantiasa memiliki sifat-sifat-Nya sebelum Dia menciptakan makhluk-Nya.”
[14]- “Sifat Allah tidak bertambah sama sekali dengan adanya makhluk dengan suatu (tambahan sifat) yang sebelum keberdaan mereka bukan menjadi sifat-Nya.”
[15]- “Sebagaimana Allah memiliki sifat-sifat itu secara azali (dari awal); demikian juga Dia memiliki sifat-sifat itu secara abadi.”
PENJELASAN:
Allah bersifat dengan sifat-sifat kesempurnaan secara azali (sejak dahulu) dan abadi (selama-lamanya). Adapun pendapat bahwa sifat-sifat Allah itu tadinya tidak ada kemudian baru ada setelah adanya makhluk, maka ini adalah pendapat Jahmiyyah dan Mu’tazilah. 
Di antara ‘Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah adalah: meyakini bahwa Allah adalah Al-Awwal (Yang Awal), yang tidak ada sesuatu pun sebelum-Nya. Maka sebagaimana Dzat Allah adalah Awal -tidak ada sesuatupun sebelum-nya-; maka demikian juga sifat-sifat-Nya; karena sifat adalah mengikuti Dzat.
Demikan juga Allah adalah Al-Aakhir (Yang Maha Terakhir), yang tidak ada sesuatu pun setelahnya, sehingga sifat-sifat Allah juga abadi.
Adapun Allah: menghidupkan, mematikan, istiwa, turun ke langit dunia, dan selainnya dari perbuatan-perbuatan Allah yang Dia lakukan kapan saja Dia menghendakinya; maka tidak bertentangan dengan: bahwa Allah memiliki sifat sejak dahulu sebelum itu semua terjadi.
Seperti Allah memiliki sifat “kalaam” (berbicara), dan Dia berbicara kapan pun Dia kehendaki, bukan berarti Dia sebelumnya tidak memiliki sifat bicara.
Seorang yang mampu berbicara akan tetapi dia sedang diam; maka dia dinamakan memiliki sifat bicara secara kekuatan; yakni bahwa dia bisa berbicara kapan pun dia mau. Maka ketika dia sedang berbicara: dia bersifat dengan berbicara secara perbuatan. Berbeda dengan bayi atau orang bisu yang kemudian bisa bicara; maka orang semacam inilah yang kemudian dinamakan: baru memiliki sifat bicara setelah sebelumnya tidak memilikinya.[8]
-Ahmad Hendrix-


[1] Risaalah Ibnil Qayyim Ilaa Ahadi Ikhwaanihi (hlm. 32-35).
[2] “Ighaatsatul Lahfaan” (hlm. 411- Mawaaridul Amaan)
[3] “Miftaah Daaris Sa’aadah” (I/539-540- tahqiiq Syaikh ‘Ali Al-Halabi, cet. II).
[4] Dalam kitabnya: “Madaarijus Saalikiin” (I/143-144- cet. Ad-Daar Al-‘Aalamiyyah).
[5] Miftaah Daaris Sa’aadah (I/296) karya Imam Ibnul Qayyim rahimahullaah.
[6] HR. Muslim (no. 2577), dari Abu Dzarr radhiyallaahu ‘anhu.
[7] Lihat: At-Ta’liiqaat Al-Mukhtasharah ‘Alal ‘Aqidah Ath-Thahaawiyyah (hlm. 40).
[8] Lihat: Syarh Al-‘Aqiidah Ath-Thahaawiyyah (hlm. 124-125- cet. Al-Maktab Al-Islaami), karya Imam Ibnu Abil ‘Izz Al-hanafi rahimahullaah.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar