MATAN
(REDAKSI) KITAB:
Imam
Ath-Thahawi rahimahullaah berkata:
[١١]- خَالِقٌ بِلَا حَاجَةٍ، رَازِقٌ بِلَا
مُؤْنَةٍ.
[11]- “Yang Menciptakan (makhluk)
tanpa membutuhkan (pada ciptaan-Nya), Yang Memberi rizki tanpa pernah terbebani.”
PENJELASAN:
Sesungguhnya Allah adalah yang menciptakan makhluk dan Allah
tidak butuh kepada mereka, akan tetapi mereka diciptakan agar beribadah kepada
Allah. Dan Allah adalah Yang Maha Pemberi Rizki kepada makhluknya, sedangkan
tugas mereka hanyalah mewujudkan tujuan mereka diciptakan; yaitu: beribadah
kepada Allah aaja.
Sehingga, seorang hamba tidak selayaknya -ketika mencari rizki-:
menerjang apa yang Allah larang, karena tujuan hidup seorang makhluk di dunia adalah
untuk beribadah kepada Allah dan bukan untuk mementingkan urusan keduniaan. Sifat
semacam ini (hidup hanya untuk kesenangnan dunia): merupakan sifat orang-orang
kafir, sebagaimana Allah berfirman:
{...وَالَّذِينَ كَفَرُوا يَتَمَتَّعُونَ
وَيَأْكُلُونَ كَمَا تَأْكُلُ الأنْعَامُ وَالنَّارُ مَثْوًى لَهُمْ}
“…Dan orang-orang yang kafir menikmati kesenangan (dunia),
dan mereka makan seperti hewan makan; dan (kelak) nerakalah tempat tinggal
mereka.” (QS. Muhammad:12)
Adapun hamba yang diberikan petunjuk oleh Allah; maka mereka
yakin bahwa Allah lah yang akan memberi rizki kepadanya, sebagaimana firman-Nya:
{وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالإنْسَ إِلا
لِيَعْبُدُونِ * مَا أُرِيدُ مِنْهُمْ مِنْ رِزْقٍ وَمَا أُرِيدُ أَنْ يُطْعِمُونِ
* إِنَّ اللَّهَ هُوَ الرَّزَّاقُ ذُو الْقُوَّةِ الْمَتِينُ}
”Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka
beribadah kepada-Ku. Aku tidak menghendaki rezeki sedikit pun dari mereka dan
Aku tidak menghendaki agar mereka memberi makan kepada-Ku. Sungguh Allah,
Dialah Pemberi Rezeki yang mempunyai kekuatan lagi sangat kokoh.” (QS. Adz-Dzaariyat: 56-58)
Setiap hamba yang tujuan hidupnya hanya untuk beribadah
kepada Allah: melaksanakan apa yang Allah perintahkan
serta menjauhi apa yang Allah larang, yakni: dia bertaqwa kepada Allah; maka kebutuhannya
akan Allah cukupi, sebagaimana firman-Nya:
{وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ
مَخْرَجًا * وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لا يَحْتَسِبُ وَمَنْ يَتَوَكَّلْ عَلَى
اللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُ إِنَّ اللَّهَ بَالِغُ أَمْرِهِ قَدْ جَعَلَ اللَّهُ
لِكُلِّ شَيْءٍ قَدْرًا}
“...Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan
membukakan jalan keluar baginya. Dan Dia memberinya rezeki dari arah yang tidak
disangka-sangka. Dan barangsiapa bertawakal kepada Allah, niscaya Allah akan
mencukupkan (keperluannya). Sesungguhnya Allah melaksanakan utusan-nya.
Sungguh, Allah telah mengadakan ketentuan bagi setiap sesuatu.” (QS. Ath-Thalaq: 2-3)
Sesungguhnya kewajiban seorang hamba adalah beribadah kepada
Allah, agar dia dekat dengan-Nya, karena tidak ada kebahagiaan yang haqiqi yang
dapat dirasakan oleh hamba kecuali dengan dekat kepada Allah Subhanaahu Wa Ta’aalaa.
Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah rahimahullaah
berkata:
“Kelezatan yang
sempurna, kegembiraan, kesenangan, kenyamanan hidup dan kenikmatan; hanya bisa
didapat dengan: mengenal Allah, mentauhidkan-Nya, senang dengan (kedekatan)Nya,
rindu untuk bertemu dengan-Nya, terkumpulnya hati dan keinginan kepada-Nya. Dan
hidup yang paling susah adalah: Kehidupan orang yang hatinya bercabang dan
keinginannya terpecah belah, hatinya tidak mempunyai tempat menetap dan tidak
ada kecintaan untuk mengikat hatinya. Sebagaimana seorang penyair berkata:
وَمَـــــا ذَاقَ طَــــعْـمَ اْلــــعَـــيْــــشِ مَــــنْ
لَـــمْ يَـــــكُنْ لَـــهُ
حَـــــبِـــــيْــــبٌ إِلَـــــيْـــــِه يَـــــطْــــمَــــِئـــــنُّ وَيـَــــسْــــــكُـــــنُ
Tidak merasakan
kenikmatan hidup: orang yang tidak mempunyai
sesuatu yang
dicintai; yang hatinya tenang dan diam padanya
Hidup yang baik
dan bermanfaat, serta kesenangan dalam ketenangan dan ketentraman: terdapat
pada cinta yang pertama, walaupun hati pernah berpindah-pindah kepada semua
cinta (yang lain); maka hati itu tidak akan senang sampai merasa tenteram
dengan Ilaah (sesembahan)nya, Rabb-nya dan pelindungnya (yaitu: Allah),
yang tidak ada baginya pelindung dan pemberi syafaat kecuali Dia, dan tidak ada
kecukupan baginya dari Allah sekejap matapun. Seperti perkataan penyair:
نَـــقِّــلْ فُــؤَادَكَ حَــــــــــيْــــثُ
شِــــــــئْـــــــــتَ مِـــــــــنَ الْــــــهَـــــوَى
مـَــــا الْـــــــحُـــــبُّ إِلَّا لِلْـــــحَـــــــبِـــــــيْـــــــبِ
اْلَأوَّلِ
كَــــــــمْ مـَــــــــنْـــــــزِلٍ فِـــي الْأَرْضِ
يـَـــــأْلَــفُــــهُ الْـــــفَــــــــتَــــــــــى
وَحَــــــــِنـــــــــيـْـــــــنُـــــــهُ أَبــَـــــداً
لِأَوَّلِ مَـــــنْـــــــزِلِ
Silahkan
pindahkan hatimu sesuai dengan keinginanmu
tidak ada
kecintaan kecuali bagi cinta pertama.
Berapa banyak
rumah yang disinggahi sang pemuda
tetapi
kesenangannya -selama-lamanya- hanya pada persinggahan pertama
Berusahalah agar tujuanmu hanya satu; yaitu
Allah saja, dan ini merupakan puncak kebahagiaan seorang hamba. Dan orang yang
keadaannya seperti ini; dia berada pada Surga dunia sebelum Surga akhirat, dan
berada dalam nikmat yang disegerakan. Sebagaimana dikatakan sebagian orang
shalih: “Sungguh, dalam waktu-waktu tertentu (karena kebahagian yang
sangat-pent) aku sampai berkata: Kalaulah penghuni Surga berada dalam
(kebahagiaan) semisal ini; maka sungguh mereka berada dalam kehidupan yang
baik.” Dan orang (shalih) yang lain berkata: “Sungguh, pada waktu-waktu
tertentu hati ini benar-benar sangat bahagia.”
Dan yang lain berkata: “Kasihan penduduk dunia; mereka keluar darinya (mati) dan belum merasakan hal
yang ternikmat didalamnya.” Maka dia ditanya: Apakah hal yang ternikmat di
dunia? Dia menjawab: “Mengenal Allah, cinta kepada-Nya, senang untuk dekat
dengan-Nya dan rindu untuk bertemu dengannya.” Tidak ada kenikmatan di dunia
ini yang menyerupai kenikmatan penghuni Surga melainkan hal ini.”[1]
Adapun seseorang yang tidak dekat dengan Allah dan ia lebih
memilih dekat dengan dunia maka ini merupakan kebahagiaan yang semu dan
sementara yang hanya dirasakan sebentar dan akan berpindah-pindah -kebahagiaan
dunianya seperti: harta dan sejenisnya- kepada kecintaan yang lainnya.
Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah rahimahullaah
berkata:
“Maka di kehidupan dunia ini: hamba diuji
dengan (1)syahwatnya, (2)keinginan jiwa (hawa nafsu)nya yang senantiasa
memerintahkan kepada kejelekan, (3)setan (yang ada pada)nya yang berusaha
menyesatkannya dan menghias-hiasi (kebatilan), serta (4)teman-temannya (yang
jelek). Belum lagi (5)(kenikmatan dunia) yang dia lihat dan dia saksikan; yang
kesabarannya tidak mampu untuk menahannya. Hal itu ditambah dengan (6)kelemahan
iman dan keyakinan, (7)lemahnya hati, (8)pahitnya kesabaran, (9)merasakan
manisnya kenikmatan dunia, (10)kecondongan jiwa terhadap perhiasan kehidupan
dunia, serta (11)balasan (kebaikan) yang disediakan nanti di negeri lain
(akhirat) bukan di negeri ini (dunia), padahal dunia adalah tempat dia
diciptakan dan dia tumbuh. Maka dia dibebani untuk meninggalkan syahwat yang
sekarang dan bisa disaksikan, demi untuk mencari suatu yang ghaib yang dia
dituntut untuk mengimaninya.”[2]
Beliau berkata:
“Dan inilah keadaan kebanyakan manusia: saling
tarik-menarik (pada dirinya) dua penyeru:
(1)- penyeru kepada (kenikmatan) kehidupan
dunia dan untuk lebih mengutamakannya, dan ini merupakan penyeru terkuat
baginya; karena (kehidupan dunia) dapat disaksikan dan dirasakan,
(2)- penyeru kepada akhirat, dan ini merupakan penyeru
yang lebih lemah, karena hanya menyerukan dengan perantaraan pendengaran (dalil
syar’i), dimana keyakinan belum memasuki hatinya dan belum merasakan hakikat
ilmunya…
Penyakit inilah yang mencegah jiwa untuk
bersiap-siap dalam menghadapi akhirat dan untuk berusaha ke arah itu, yaitu
penyakit: lemahnya keilmuan dan keyakinan terhadap akhirat. Karena, kalaulah di
dalam hati: terdapat keyakinan yang pasti (terhadap akhirat) yang tidak
disertai keraguan sedikitpun; pasti tidak akan meremehkannya dan ada semangat
untuk mendapatkannya. Oleh karena itulah jika dihadapkan kepada seseorang:
makanan yang sangat baik dan lezat, sedangkan dia sangat membutuhkannya,
kemudian dikatakan kepadanya: “makanan ini beracun”; maka tentulah dia tidak
akan memakannya, karena dia mengetahui akibat jelek yang akan dia dapatkan,
yang melebihi kenikmatan ketika dia memakannya. Maka kenapa keimanan terhadap
akhirat di dalam hati kedudukannya tidak seperti ini? Tidaklah hal itu
melainkan karena lemahnya pohon ilmu dan keimanan, serta tidak menetap di dalam
hati.”[3]
Jika seorang hamba telah mengetahui bahwa tujuan
dia diciptakan adalah untuk beribadah kepada Allah, dan bahwa dengan mewujudkan
ibadah ini dia akan mendapatkan kebahagiaan di dunia dan di akhirat; maka dia harus
mengetahui 4 (empat) kaidah dalam beribadah:
Imam Ibnul Qayyim Al-Jauziyyah rahimahullah
menjelaskan[4] tentang
seseorang yang ingin mewujudkan kalimat “iyyaaka na’budu” (hanya kepada Engkaulah
kami beribadah); maka harus dibangun di atas 4 (empat) kaidah:
Hamba harus meneliti dengan pasti terhadap apa
yang Allah dan Rasul-Nya cintai dan ridhai, berupa: (1)perkataan hati, (2)perkataan
lisan, (3)amalan hati, dan (4)amalan anggota badan.
Oleh karenanya, istilah “’ubuudiyyah” adalah: nama
yang mencakup 4 (empat) martabat ini. Akan tetapi seseorang tidak akan bisa
mewujudkan “’ubuudiyyah” dengan 4 (empat) martabatnya ini kecuali dengan
ilmu (meneliti dengan pasti).
Sehingga wajar kalau Imam Ibnul
Qayyim rahimahullaah berkata: “Dan sungguh, kebutuhan hamba terhadap
ilmu (syar’i) sangat mendesak melebihi kebutuhan badan(nya) terhadap makanan.”[5]
Adapun rincian tentang 4 (empat) tingkatan “’ubuudiyyah” di
atas adalah:
1. Qoulul Qalbi (perkataan hati); yakni: meyakini apa
yang Allah kabarkan tentang diri-Nya, nama-nama dan sifat-sifat-Nya, serta
perbuatan-Nya, malaikat-malaikat-Nya, hari kebangkitan dan selainnya. Yakni bahwa
rincian ingkatan tpertama ini berkaitan dengan ‘Aqidah.
2. Qoulul Lisaan (perkataan lisan); yaitu:
mengabarkan tentang ‘Aqidah (keyakinan) kita, serta mendakwahkan tentang ‘Aqidah
yang shahih kepada orang lain, dan juga membelanya, menjelaskan bid’ah-bid’ah
yang menyelisihi ‘Aqidah kita.
Dan juga termasuk dari perkataan lisan ini adalah: berdzikir
kepada Allah Subhaanahu Wa Ta’aalaa dengan berbagai macam
jenisnya.
3. ‘Amalul Qalbi (amalan hati); yaitu: pergerakan
hati, seperti: cinta kepada Allah, tawakkal kepadaN, takut dan harap hanya
kepada Allah, mengikhlaskan ibadah hanya kepada Allah, kemudian bersabar dalam
menjalankan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya, serta bersabar atas
taqdir Allah.
Amalan hati ini merupakan amalan yang lebih wajib dari pada
wajibnya amalan anggota badan, dan sayangnya banyak orang tidak
memperhatikannya. Bahkan yang membedakan antara orang mukmin dengan orang munafiq
adalah dari hatinya, karena amalan anggota badannya sama dengan orang mukmin: baik
shalatnya, syahadatnya, dan sebagainya. Sebagaimana Allah berfirman:
{إِذَا جَاءَكَ الْمُنَافِقُونَ قَالُوا
نَشْهَدُ إِنَّكَ لَرَسُولُ اللَّهِ وَاللَّهُ يَعْلَمُ إِنَّكَ لَرَسُولُهُ
وَاللَّهُ يَشْهَدُ إِنَّ الْمُنَافِقِينَ لَكَاذِبُونَ}
“Apabila orang-orang munafiq datang kepadamu (Muhammad),
mereka berkata : “Kami mengakui, bahwa engkau adalah Rasul Allah.” Dan Allah
mengetahui bahwa engkau benar-benar Rasul-Nya; dan Allah menyaksikan bahwa
orang-orang munafiq itu benar-benar pendusta.” (QS. Al-Munafiqun: 1)
4. Amalan anggota badan, seperti: shalat, jihad, melangkahkan
kaki untuk menuju shalat jama’ah, menolong orang yang lemah, berbuat baik
kepada makhluk, dan lain sebagainya dari amalan-amalann yang dilakukan deng
anggota badan.
Kesimpulannya adalah bahwa: untuk mewujudkan kalimat “iyyaaka
na’budu” (hanya kepada Engkaulah kami beribadah): adalah dengan 4 (empat)
perkara ini. Kemudian kalimat “wa iyyaaka nasta’iin” (dan hanya kepada Engkaulah
kami mohon pertolongan): adalah meminta pertolongan kepada Allah dalam
mewujudkan 4 (empat) perkara diatas. Dan pada kalimat “ihdinash shiraathal
mustaqaim” (tunjukilah kami jalan yang lururs): adalah meminta petunjuk
agar bisa mengenal dan mengetahui “iyyaaka na’budu wa iyyaaka
nasta’iin” secara rinci, petunjuk untuk mengamalkannya, dan menempuh
jalan orang-orang yang telah menempuhnya.
Perkataan Imam Ath-Thahawi rahimahullah:
رَازِقٌ بِلَا مُؤْنَةٍ
Yang Memberi
rizki tanpa pernah terbebani.”
Maka Allah akan memberikan Rizki kepada para hamba-Nya apabila
mereka meminta kepada-Nya., sebagaimana firman Allah:
{وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي
قَرِيبٌ أُجِيبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ إِذَا دَعَانِ فَلْيَسْتَجِيبُوا لِي
وَلْيُؤْمِنُوا بِي لَعَلَّهُمْ يَرْشُدُونَ}
“Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu (Muhammad)
tentang Aku; maka sesungguhnya Aku dekat. Aku akan kabulkan permohonan orang
yang berdo’a apabila dia berdo’a kepada-Ku. Maka hendaklah mereka itu memenuhi
(perintah)-Ku dan beriman kepada-Ku, agar mereka memperoleh kebenaran.” (QS. Al-Baqarah: 186)
Dan jika semua hamba meminta kepada Allah; maka tidaklah
sedikitpun berkurang apa yang ada disisi-Nya, sebagaimana yang Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wa sallam riwayatkan dari Rabb-Nya (hadits qudsi):
يَا عِبَادِي
لَوْ أَنَّ أَوَّلَكُمْ وَآخِرَكُمْ وَإِنْسَكُمْ وَجِنَّكُمْ قَامُوا فِي صَعِيدٍ
وَاحِدٍ فَسَأَلُونِي فَأَعْطَيْتُ كُلَّ إِنْسَانٍ مَسْأَلَتَهُ، مَا نَقَصَ
ذَلِكَ مِمَّا عِنْدِي إِلَّا كَمَا يَنْقُصُ الْمِخْيَطُ إِذَا أُدْخِلَ
الْبَحْرَ
“Wahai hamba-hamba-Ku! Seandainya orang pertama dan terakhir
dari kalian, manusia dan jin dari kalian: kalian semua berada di satu tanah lapang,
kemudian setiap dari kalian meminta kepada-Ku, lalu Aku memberikan permintaannya
itu; maka hal itu tidak akan mengurangi apa yang ada di sisi-Ku, kecuali seperti
jarum yang mengurangi air laut jika dimasukkan ke dalamnya.”[6]
MATAN
(REDAKSI) KITAB:
Imam
Ath-Thahawi rahimahullaah berkata:
[١٢]- مُـمِيْتٌ بِلَا مَـخَافَةٍ، بَاعِثٌ بِلَا مَشَقَّةٍ.
[11]- “Dia yang mematikan
makhluk tanpa gentar, Dia yang membangkitkan (sesudah kematian) tanpa ada
kesulitan.”
PENJELASAN:
“Dia
yang mematikan makhluk tanpa gentar”
Sesungguhnya Allah mematikan setiap makhluk -tatkala sudah
sampai ajalnya-: bukan berarti Allah takut kepada mereka dan bukan agar dia aman
dari mereka, akan tetapi karena hikmah Allah yang menuntut untuk mematikannya. Jadi,
dimatikannya makhluk bukan berarti kalau tidak dimatikan maka dapat
mendatangkan mudharat bagi Allah Subhaanahu Wa Ta’aalaa.
“Dia
yang membangkitkan (sesudah kematian) tanpa ada kesulitan”
Sesungguhnya merupakan suatu kemudahan bagi Allah untuk
membangkitkan setiap hamba-Nya. Maka suatu hal yang mengherankan adalah:
penolakan orang-orang kafir terhadap hari kebangkitan, seperti yang Allah firmankan:
{أَوَلَمْ يَرَ الإنْسَانُ أَنَّا خَلَقْنَاهُ
مِنْ نُطْفَةٍ فَإِذَا هُوَ خَصِيمٌ مُبِينٌ * وَضَرَبَ لَنَا مَثَلا وَنَسِيَ
خَلْقَهُ قَالَ مَنْ يُحْيِي الْعِظَامَ وَهِيَ رَمِيمٌ * قُلْ يُحْيِيهَا الَّذِي
أَنْشَأَهَا أَوَّلَ مَرَّةٍ وَهُوَ بِكُلِّ خَلْقٍ عَلِيمٌ}
“Dan tidaklah manusia memperhatikan bahwa Kami
menciptakannya dari setetes mani, ternyata dia menjadi musuh yang nyata! Dan
dia membuat perumpamaan bagi Kami dan melupakan asal kejadiannya; dia berkata: “Siapakah
yang dapat menghidupkan tulang-belulang, yang telah hancur luluh?” Katakanlah
(Muhammad): “Yang akan menghidupkannya ialah (Allah) yang menciptakannya
pertama kali. Dan Dia Maha Mengetahui tentang segala sesuatu.”.” (QS. Yasin: 77-79)
Allah lah yang menciptakannya pertama kali yang sebelumnya tidak
ada sama sekali, sehingga Allah telah mengadakannya setelah sebelumnya tidak ada.
Maka Allah yang telah menciptakan manusia setelah sebelumnya tidak ada: bukankah
Dia lebih mampu untuk mengembalikannya? Ini dari segi pandangan akal.[7]
MATAN
(REDAKSI) KITAB:
Imam
Ath-Thahawi rahimahullaah berkata:
[١٣]- مَا زالَ بِـصِفَاتِهِ قَديْـمًا قَبْلَ خَلْقِهِ
[١٤]- لَـمْ يَزدَدْ بِكَوْنِـهِم شَــيْئًــا لَـمْ
يكنْ قَبلَهُم مِنْ صِفَتِهِ
[١٥]- وَكَمَا كَانَ بِصِفَاتِهِ أَزَلِـيًّا؛ كَذٰلِكَ
لَا يَزَالُ عَلَيْهَا أَبَدِيًّـا
[13]- “Allah senantiasa
memiliki sifat-sifat-Nya sebelum Dia menciptakan makhluk-Nya.”
[14]- “Sifat
Allah tidak bertambah sama sekali dengan adanya makhluk dengan suatu (tambahan
sifat) yang sebelum keberdaan mereka bukan menjadi sifat-Nya.”
[15]- “Sebagaimana
Allah memiliki sifat-sifat itu secara azali (dari awal); demikian juga Dia
memiliki sifat-sifat itu secara abadi.”
PENJELASAN:
Allah bersifat dengan sifat-sifat kesempurnaan secara azali (sejak
dahulu) dan abadi (selama-lamanya). Adapun pendapat bahwa sifat-sifat Allah itu
tadinya tidak ada kemudian baru ada setelah adanya makhluk, maka ini adalah pendapat
Jahmiyyah dan Mu’tazilah.
Di antara ‘Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah adalah: meyakini
bahwa Allah adalah Al-Awwal (Yang Awal), yang tidak ada sesuatu pun sebelum-Nya.
Maka sebagaimana Dzat Allah adalah Awal -tidak ada sesuatupun sebelum-nya-; maka
demikian juga sifat-sifat-Nya; karena sifat adalah mengikuti Dzat.
Demikan juga Allah adalah Al-Aakhir (Yang Maha Terakhir),
yang tidak ada sesuatu pun setelahnya, sehingga sifat-sifat Allah juga abadi.
Adapun Allah: menghidupkan,
mematikan, istiwa, turun ke langit dunia, dan selainnya dari
perbuatan-perbuatan Allah yang Dia lakukan kapan saja Dia menghendakinya; maka tidak
bertentangan dengan: bahwa Allah memiliki sifat sejak dahulu sebelum itu semua
terjadi.
Seperti Allah memiliki sifat “kalaam”
(berbicara), dan Dia berbicara kapan pun Dia kehendaki, bukan berarti Dia sebelumnya
tidak memiliki sifat bicara.
Seorang yang mampu berbicara akan tetapi
dia sedang diam; maka dia dinamakan memiliki sifat bicara secara kekuatan; yakni
bahwa dia bisa berbicara kapan pun dia mau. Maka ketika dia sedang berbicara: dia
bersifat dengan berbicara secara perbuatan. Berbeda dengan bayi atau orang bisu
yang kemudian bisa bicara; maka orang semacam inilah yang kemudian dinamakan: baru
memiliki sifat bicara setelah sebelumnya tidak memilikinya.[8]
-Ahmad Hendrix-
[1] Risaalah
Ibnil Qayyim Ilaa Ahadi Ikhwaanihi (hlm. 32-35).
[2] “Ighaatsatul
Lahfaan” (hlm. 411- Mawaaridul Amaan)
[3] “Miftaah Daaris Sa’aadah” (I/539-540- tahqiiq
Syaikh ‘Ali Al-Halabi, cet. II).
[4] Dalam
kitabnya: “Madaarijus Saalikiin” (I/143-144- cet. Ad-Daar Al-‘Aalamiyyah).
[5] Miftaah
Daaris Sa’aadah (I/296) karya Imam Ibnul Qayyim rahimahullaah.
[6] HR.
Muslim (no. 2577), dari Abu Dzarr radhiyallaahu ‘anhu.
[7] Lihat:
At-Ta’liiqaat Al-Mukhtasharah ‘Alal ‘Aqidah Ath-Thahaawiyyah (hlm. 40).
[8] Lihat:
Syarh Al-‘Aqiidah Ath-Thahaawiyyah (hlm. 124-125- cet. Al-Maktab
Al-Islaami), karya Imam Ibnu Abil ‘Izz Al-hanafi rahimahullaah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar