Sabtu, 25 Februari 2017

6- TADABBUR AL-QUR'AN



TADABBUR AL-QUR’AN

Allah -Ta’aalaa- berfirman:

كِتَابٌ أَنْزَلْنَاهُ إِلَيْكَ مُبَارَكٌ لِيَدَّبَّرُوا آيَاتِهِ وَلِيَتَذَكَّرَ أُولُو الألْبَابِ

Kitab (Al-Qur’an) yang Kami turunkan kepadamu penuh berkah agar mereka menghayati (mentadabburi) ayat-ayatnya dan agar orang-orang yang berakal sehat mendapat pelajaran.” (QS. Shaad: 29)

(1)- Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di -rahimahullaah- berkata dalam tafsirnya:

“Inilah hikmah diturunkannya (Al-Qur’an); yaitu: agar manusia mentadabburi ayat-ayatnya, sehingga mereka dapat mengeluarkan ilmu yang terdapat dalam ayat-ayat tersebut, serta memperhatikan rahasia-rahasia dan hikmah-hikmahnya. Karena dengan mentadabburinya, memperhatikan makna-maknanya, dan mengulang-ulang tafakkur (memikirkan) ayat-ayat Al-Qur’an berkali-kali; dengan itu semua maka akan diraih keberkahan Al-Qur’an dan kebaikannya.”

[Taisiirul Kariimir Rahmaan (hlm. 712)]

(2)- Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah -rahimahullaah- berkata:

“Tidak ada hal yang lebih bermanfaat bagi hati selain membaca Al-Qur’an dengan tadabbur dan tafakkur…

Kalau lah manusia mengetahui (manfaat) yang terdapat pada membaca Al-Qur’an dengan tadabbur; tentulah mereka akan sibuk dengannya dan meninggalkan yang lainnya…

Karena membaca Al-Qur’an dengan tafakkur merupakan pokok kebaikan hati…

Oleh karena itulah, Allah menurunkan Al-Qur’an agar ditadabburi, difikirkan, kemudian diamalkan, bukan sekedar untuk dibaca akan tetapi berpaling darinya (tidak difahami dan diamalkan-pent).

Hasan Al-Bashri berkata: “Al-Qur’an diturunkan untuk diamalkan, akan tetapi mereka (manusia) menjadikan bacaannya sebagai amalan (yakni: mencukupkan amalan dengan hanya membacanya saja-pent).”.”

[Miftaah Daaris Sa’aadah (I/550-552)]

(3)- Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah -rahimahullaah- berkata:

“Janganlah (seseorang) menjadikan semangatnya dalam ilmu-ilmu yang telah menghalangi kebanyakan manusia dari hakikat-hakikat Al-Qur’an. Apakah: dengan was-was dalam mengeluarkan huruf-hurufnya, atau tarqiiq, tafkhiim, imaalah, mengucapkan madd thawiil, qhashiir dan mutawassith, dan lain-lain. Maka sungguh, hal-hal ini menghalangi hati dan memotongnya dari memahami maksud Allah dari firman-Nya. Demikian juga kesibukkan dalam mengucapkan:

أَأَنْذَرْتَهُمْ

Dan (sibuk dalam masalah) men-dhommah-kan huruf Miim dalam:

عَلَيْهِمْ

dan menyambungnya dengan huruf Waawu, atau (masalah) meng-kasroh-kan huruf Raa’ atau men-dhommah-kannya, dan (masalah-masalah) yang semisalnya.”

[Majmuu’ul Fataawa (XVI/50)]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar