MENUNTUT
ILMU SEMAKSIMAL MUNGKIN
[1]- Rasulullah -shallallaahu ‘alaihi wa sallam- bersabda:
لَيْسَ الْخَبَرُ كَالْمُعَايَنَةِ، إِنَّ اللهَ -عَزَّ وَجَلَّ-
أَخْبَرَ مُوسَى بِمَا صَنَعَ قَوْمُهُ فِي الْعِجْلِ؛ فَلَمْ يُلْقِ الأَلْوَاحَ، فَلَمَّا عَايَنَ مَا صَنَعُوا، أَلْقَى الأَلْوَاحَ فَانْكَسَرَتْ
“(Mendapat) kabar itu tidak sama dengan melihat langsung,
sesungguhnya Allah -‘Azza Wa Jalla- mengabarkan kepada Musa apa yang diperbuat
oleh kaumnya terhadap patung anak sapi dan ketika itu (Musa) belum melemparkan
lembaran-lembaran (Taurat). Akan tetapi ketika melihat langsung apa yang mereka
perbuat; (Musa marah dan) melemparkan lembaran-lembaran itu sampai pecah
(rusak).”
[SHAHIH: HR. Ahmad (no. 1842 & 2447- cet. Daarul Hadiits), Ibnu
Abi Hatim dalam “Tafsirnya” (no. 8998), Ibnu Hibban (no. 6223- cet. Daarul
Fikr), dan Al-Hakim (no. 3330- cet. Daarul Fikr), dari Ibnu ‘Abbas
-radhiyallaahu ‘anhumaa-. Dishahihkan oleh Imam Al-Albani -rahimahullaah- dalam
Shahiih Al-Jaami’ Ash-Shaghiir (no. 537)]
[2]- Allah -Ta’aalaa- berfirman:
وَإِذْ قَالَ إِبْرَاهِيمُ رَبِّ أَرِنِي كَيْفَ تُحْيِ الْمَوْتَى
قَالَ أَوَلَمْ تُؤْمِنْ قَالَ بَلَى وَلَكِنْ لِيَطْمَئِنَّ قَلْبِي قَالَ فَخُذْ
أَرْبَعَةً مِنَ الطَّيْرِ فَصُرْهُنَّ إِلَيْكَ ثُمَّ اجْعَلْ عَلَى كُلِّ جَبَلٍ
مِنْهُنَّ جُزْءًا ثُمَّ ادْعُهُنَّ يَأْتِينَكَ سَعْيًا وَاعْلَمْ أَنَّ اللَّهَ
عَزِيزٌ حَكِيمٌ
“Dan (ingatlah) ketika Ibrahim berkata: “Wahai Rabb-ku,
perlihatkanlah padaku bagaimana Engkau menghidupkan orang mati.” Allah
berfirman: “Belum yakinkah kamu?” Ibrahim menjawab: “Aku telah meyakininya,
akan tetapi agar hatiku tenang (mantap dengan imanku).” Allah berfirman: “Kalau
begitu ambillah empat ekor burung, lalu cincanglah semuanya olehmu, kemudian
letakkan di atas masing-masing bukit satu bagian, kemudian panggillah mereka;
niscaya mereka datang kepadamu dengan segera.” Ketahuilah bahwa Allah Maha
Perkasa, Maha Bijaksana.” (QS. Al-Baqarah: 260)
[3]- Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di
-rahimahullaah- berkata:
“Oleh karena itulah; ‘AINUL YAQIN -yaitu: melihat langsung dengan
mata kepala- lebih besar dari ‘ILMUL YAQIN -yaitu: ilmu yang didapatkan dari
pengabaran-. Dan yang lebih tinggi lagi dari keduanya adalah: HAQQUL YAQIN
-yaitu: apa yang dirasakan langsung-.
Sehingga, selayaknya bagi seorang hamba untuk berusaha mendapatkan
ilmu yang bermanfaat, dan tidak mencukupkan diri dengan ‘ilmul yaqin kalau
memang dia mampu untuk mendapat ‘ainul yaqin; sebagaimana Ibrahim Al-Khalil
-‘alaihis salaam- meminta dari Allah agar Allah menunjukkan kepadanya bagaimana
Dia menghidupkan yang sudah mati; AGAR BISA MENINGKAT DARI SATU ILMU MENUJU
ILMU YANG LEBIH TINGGI LAGI.”
[Al-Mu’iin ‘Alaa Tahshiil Aadaabil ‘ilmi Wa Akhlaaqil Muta’allimiin
(hlm. 260)]
[4]- Imam Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i -rahimahullaah- berkata:
“Selayaknya bagi para penuntut ilmu untuk mencapai usaha yang
maksimal dalam memperbanyak ilmu, dan bersabar atas segala penghalang dalam
menuntutnya. Serta mengikhlaskan niatnya karena Allah dalam mencapai ilmu; baik
ilmu yang berupa nash (lafazh dari dalil-dalil) maupun istinbath (pengambilan
hukum dari lafazh). Serta berharap kepada Allah agar menolongnya dalam
(menuntut ilmu) tersebut; karena kebaikan tidak akan didapatkan melainkan hanya
dengan pertolongan-Nya.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar