Selasa, 19 September 2017

KAJIAN 'AQIDAH WASITHIYYAH (11)



[Penetapan Sifat “Ar-Rahmah” (kasih sayang) Bagi Allah]
Sifat “Ar-Rahmah” (rahmat/kasih sayang) bagi Allah telah ditetapkan dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah, sehingga sebagaimana kaidah yang telah disebutkan di awal: tidak boleh menolak sifat “Ar-Rahmah” ini (Ta’thil), tidak boleh menyamakannya dengan sifat makhluk-Nya (Tamtsil), dan tidak perlu dita’wil/tahrif (diselewengkan pada makna lain).
Rahmat (kasih sayang) Allah tidaklah sama dengan kasih sayang makhluk-Nya, sehingga tidak perlu diselewengkan menjadi “iraadah” (keinginan); yakni: “Iraadatul In’aam” (keinginan untuk memberikan nikmat”.
[1]- Pembahasan Ayat Pertama
{بِسْمِ اللهِ الرَّحْـمٰنِ الرَّحِيْمِ}
“Dengan nama Allah, Yang Maha Pengasih, Maha Penyayang.” (QS. Al-Fatihah: 1)
Di dalam ayat ini ada beberapa pembahasan:
(1)- Allah telah mengawali Kitab-Nya (Al-Qur’an) dengan:
بِسْمِ اللهِ الرَّحْـمٰنِ الرَّحِيْمِ
Demikian juga Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam memulai dengannya -ketika menulis surat-suratnya-.
(2)- Ketika kita mengucapkannya; maka kita meminta pertolongan kepada Allah dalam amalan yang akan kita lakukan. Sehingga jika kita mengawali tulisan kita dengan Bismillaah; maka berarti kita minta pertolongan kepada Allah dalam kita menulis, jika kita mulai membaca dengan Bismillaah; maka berarti kita minta pertolongan kepada Allah dalam kita membaca, dan seterusnya dari amalan-amalan yang lainnya.
(3)- Di dalam ayat ini terdapat 3 (tiga) nama Allah; yaitu:
1. “Allaah”; dan nama ini mengandung sifat “Al-Uluuhiyyah”; yakni: hak untuk diibadahi.
2. “Ar-Rahmaan” (Maha Pengasih), yang mengandung sifat “Ar-Rahmah” (rahmat/kasih sayang).
3. “Ar-Rahiim” (Maha Penyayang), yang juga mengandung sifat “Ar-Rahmah” (rahmat/kasih sayang).
(4)- Perbedaan antara nama “Ar-Rahmaan” dan “Ar-Rahiim”
“Ar-Rahmaan” menunjukkan bahwa Allah memiliki sifat “Ar-Rahmah” (kasih sayang) pada Dzat-Nya. Adapun “Ar-Rahiim”; maka ada keterkaitannya dengan yang dirahmati; yaitu makhluk-makhluk Allah yang dirahmati-Nya.
(5)- Faedah yang bisa diambil dari ayat ini untuk keseharian kita:
1. Kita senantiasa “Isti’aanah” (meminta tolong) kepada Allah dalam kegiatan kita, di antara caranya adalah dengan membaca Bismillaah.
2. Kita senantiasa mengharapkan rahmat (kasih sayang) dari Allah.
[2]- Pembahasan Ayat Kedua
{... رَبَّنَا وَسِعْتَ كُلَّ شَيْءٍ رَحْمَةً وَعِلْمًا...}
“Ya Rabb kami, rahmat dan ilmu yang ada pada-Mu meliputi segala sesuatu…” (Al-Mukmin: 7)
    Di sini ada beberapa pembahasan:
(1)- Ayat ini adalah tentang para malaikat yang memikul ‘Arsy dan yang di sekelilingnya, yang bertasbih kepada Allah dengan memuji-Nya, dan memintakan ampun bagi orang-orang yang beriman; maka di antara perkataan mereka:
{... رَبَّنَا وَسِعْتَ كُلَّ شَيْءٍ رَحْمَةً وَعِلْمًا...}
“Ya Rabb kami, rahmat dan ilmu yang ada pada-Mu meliputi segala sesuatu…” (Al-Mukmin: 7)
(2)- Ayat ini menunjukkan bahwa Rahmat Allah mengenai seluruh makhluk-Nya; baik mukmin maupun kafir, karena Rahmat Allah di sini digandengkan dengan ilmu-Nya yang meliputi segala sesuatu. Sehingga rahmat ini disebut dengan Rahmat ‘Aammah (rahmat yang umum).
(3)- Rahmat Allah untuk orang-orang kafir itu berbentuk kasih sayang dalam urusan dunia mereka; seperti: makan, pakaian, tempat tinggal, kesehatan, dll. Bahkan terkadang melebihi nikmat dunia yang diberikan kepada orang-orang yang beriman. Akan tetapi Allah mengingatkan orang-orang yang beriman agar jangan terkecoh dengan orang-orang kafir. Allah Ta’aalaa berfirman:
{لَا يَغُــرَّنَّكَ تَقَلُّبُ الَّذِيْنَ كَفَرُوْا فِـي الْبِلَادِ * مَـتَاعٌ قَـلِيْلٌ ثُـمَّ مَأْوَاهُمْ جَهَنَّمُ وَبِئْسَ الْمِهَادُ}
“Jangan sekali-kali kamu terpedaya oleh kegiatan orang-orang kafir (yang bergerak) di seluruh negeri. Itu hanyalah kesenangan sementara, kemudian tempat kembali mereka adalah Neraka Jahannam. Dan (Jahannam) itu seburuk-buruk tempat tinggal.” (QS. Ali Imran: 196-197).
Adapun yang Allah berikan kepada orang-orang yang beriman adalah kenikmatan di dunia dan akhirat, seperti yang Allah firmankan:
{مَنْ عَمِلَ صَالِـحًا مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَـلَـنُـحْـيِـيَـنَّـهُ حَـيَاةً طَـيِّـبَـةً وَلَــنَـجْـزِيَـنَّـهُمْ أَجْـرَهُمْ بِأَحْسَنِ مَا كَانُوْا يَعْمَلُوْنَ}
“Barangsiapa beramal shalih -baik laki-laki maupun perempuan- dalam keadaan beriman; maka pasti akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik, dan akan Kami beri balasan dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka amalkan.” (QS. An-Nahl: 97).
Terkadang orang kafir menghina orang mukmin dalam urusan dunia, karena mereka diberi kekayaan lebih dari orang yang beriman, Allah Ta’aalaa berfirman:
{زُيِّــنَ لِلَّذِيْنَ كَفَرُوا الْـحَيَاةُ الدُّنْيَا وَيَسْخَرُوْنَ مِنَ الَّذِيْنَ آمَنُوْا  ...}
“Kehidupan dunia dijadikan terasa indah dalam pandangan orang-orang kafir, dan mereka menghina orang-orang yang beriman…” (QS. Al-Baqarah: 212)
Akan tetapi orang-orang kafir, mereka makan dan minum seperti binatang dan Neraka menjadi tempat tinggal bagi mereka, sebagaimana firman Allah:
{... وَالَّذِيْنَ كَفَرُوْا يَتَمَتَّعُوْنَ وَيَأْكُلُوْنَ كَمَا تَأْكُلُ الْأَنْعَامُ وَالنَّارُ مَثْوًى لَـهُمْ}
“…Dan orang-orang yang kafir menikmati kesenangan (dunia), dan mereka makan seperti hewan makan, dan (kelak) Neraka lah tempat tinggal bagi mereka.” (QS. Muhammad: 12)
Sehingga ketika di akhirat: kalaulah mereka memiliki dunia dan sesisinya -bahkan ditambah lagi yang semisalnya-; tentulah mereka akan menebus dengannya agar mereka terbebas dari siksa, seperti yang Allah firmankan:
{وَلَوْ أَنَّ لِلَّذِيْـنَ ظَلَمُوْا مَا فِـي الْأَرْضِ جَـمِيْعًا وَمِثْلَهُ مَعَهُ لَافْــتَدَوْا بِـهِ مِنْ سُوْءِ الْعَذَابِ يَوْمَ الْقِـيَامَةِ...}
“Dan sekiranya orang-orang yang zhalim mempunyai segala apa yang ada di bumi dan ditambah lagi sebanyak itu; niscaya mereka akan menebus dirinya dengan itu dari adzab yang buruk pada Hari Kiamat…” (QS. Az-Zumar: 47)
Bahkan mereka berangan-angan seandainya mereka dahulu adalah termasuk kaum muslimin. Allah Ta’aalaa berfirman:
{رُبَـمَا يَوَدُّ الَّذِيْنَ كَفَرُوْا لَوْ كَانُوْا مُسْلِمِيْـنَ}
“Orang-orang itu kadang-kadang (nanti di akhirat) menginginkan: sekiranya dahulu (di dunia) menjadi orang muslim.” (QS. Al-Hijr: 2)
Dan sekali lagi kami ingatkan: bahwa janji Allah untuk orang-orang yang beriman dengan kenikmatan di akhirat; maka hal ini tidak menafikan kenikmatan di dunia yang Allah berikan kepada mereka, sebagaimana telah disebutkan dalam friman Allah:
{مَنْ عَمِلَ صَالِـحًا مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَـلَـنُـحْـيِـيَـنَّـهُ حَـيَاةً طَـيِّـبَـةً وَلَــنَـجْـزِيَـنَّـهُمْ أَجْـرَهُمْ بِأَحْسَنِ مَا كَانُوْا يَعْمَلُوْنَ}
“Barangsiapa beramal shalih -baik laki-laki maupun perempuan- dalam keadaan beriman; maka pasti akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik, dan akan Kami beri balasan dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka amalkan.” (QS. An-Nahl : 97)
(4)- Dalam ayat ini terdapat keutamaan bagi orang-orang yang beriman, dimana mereka dimintakan ampunan oleh para malaikat yang memikul ‘Arsy dan yang di sekelilingnya. Maka hendaknya kita berusaha meningkatkan keimanan kita, terutama keimanan terhadap yang gaib, seperti yang Allah sebutkan pertama kali tentang sifat orang yang bertakwa:
{الٓم * ذٰلِكَ الْكِتَابُ لَا رَيْبَ فِــيْـهِ هُدًى لِلْمُـتَّــقِـيْـنَ * الَّذِيْنَ يُؤْمِنُوْنَ بِالْغَيْبِ وَيُــقِيْمُوْنَ الصَّلَاةَ وَمِـمَّا رَزَقْـــنَاهُمْ يُــنْـفِقُوْنَ}
“Alif Laam Miim. Kitab (Al-Qur’an) ini tidak ada keraguan padanya, petunjuk bagi mereka yang bertakwa, (yaitu) mereka yang beriman kepada yang gaib, menegakkan shalat, dan menginfakkan sebagian rizki yang Kami berikan kepada mereka.” (QS. Al-Baqarah: 1-3).
(5)- Dalam ayat ini juga terdapat penetapan sifat ilmu bagi Allah.
[3]- Pembahasan Ayat Ketiga
{...وَكَانَ بِالْمُؤْمِنِـيْـنَ رَحِــيْـمًا}
“…dan Dia Maha Penyayang kepada orang-orang yang beriman.” (QS. Al-Ahzaab: 43)
Allah menyebutkan dalam ayat ini bahwa diri-Nya merahmati orang-orang yang beriman. Dan sifat Rahmat bagi Allah yang disebutkan dalam ayat ini adalah Rahmat Allah yang khusus bagi orang-orang yang beriman. Maka hal ini menunjukkan keutamaan yang besar bagi orang-orang yang beriman.
[4]- Pembahasan Ayat Keempat
{...وَرَحْـمَتِـيْ وَسِعَتْ كُلَّ شَيْءٍ...}
“…dan rahmat-Ku meliputi segala sesuatu.” (QS. Al-A’raaf: 156)
Rahmat dalam ayat ini adalah seperti Rahmat dalam ayat yang kedua (QS. Al-Mukmin: 7); yakni: Rahmat ‘Aamm; yaitu rahmat yang mencakup orang mukmin dan orang kafir, orang baik dan jahat.
[5]- Pembahasan Ayat Kelima
{...كَتَبَ رَبُّكُمْ عَلَى نَفْسِهِ الرَّحْـمَةَ...}  
“…dan Rabb-mu telah menetapkan sifat kasih sayang pada diri-Nya…” (QS. Al-An’aam: 54)
Dalam ayat ini Allah menetapkan Rahmat atas dirinya sendiri. Dan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan bahwa Rahmat Allah mengalahkan kemurkaan-Nya, beliau bersabda:
لَمَّا خَلَقَ اللهُ الْـخَلْقَ، كَـتَبَ فِـيْ كِــتَابِهِ، فَهُوَ عِنْدَهُ فَوْقَ الْعَرْشِ: إِنَّ رَحْـمَتِـيْ تَغْلِبُ غَضَبِـيْ
“Ketika Allah menciptakan makhluk; maka Dia menuliskan dalam kitab-Nya yang ada di sisi-Nya di atas ‘Arsy: Sungguh rahmat-Ku mengalahkan kemurkaan-Ku.”
[Muttafaqun ‘Alaihi: HR. Al-Bukhari (no. 3194) dan Muslim (no. 2751)]
Dalam kelanjutan ayat ini disebutkan hal yang menunjukkan atas rahmat Allah; yaitu: ketika ada orang yang berbuat keburukan -sekalipun kesyirikan- yang dia lakukan karena kebodohan, ketika dia bertaubat dan berbuat baik: maka Allah akan mengampuninya.
{...كَتَبَ رَبُّكُمْ عَلَى نَفْسِهِ الرَّحْـمَةَ أَنَّهُ مَنْ عَمِلَ مِنْكُمْ سُوءًا بِـجَهَالَةٍ ثُـمَّ تَابَ مِنْ بَعْدِهِ وَأَصْلَحَ فَأَنَّهُ غَفُوْرٌ رَحِيْمٌ}
“…Rabb-mu telah menetapkan sifat “Rahmah” (kasih sayang) pada diri-Nya, (yaitu) barangsiapa yang berbuat kejahatan di antara kamu karena kebodohan, kemudian dia bertaubat setelah itu dan memperbaiki diri; maka Dia Maha Pengampun, Maha Penyayang.” (QS. Al-An’aam: 54)
Kebodohan di sini bukanlah kebodohan karena tidak tahu, karena kalau seseorang melakukan kemaksiatan dikarenakan ketidaktahuan dia; maka dia tidak berdosa. Akan tetapi kebodohan yang dimaksud di sini adalah kebodohan yang merupakan lawan dari hikmah, yakni: keodohan karena kurang bisa menjaga diri sehingga berbuat bermaksiat.
[6]- Pembahasan Ayat Keenam
{...إِنَّ اللهَ غَفُوْرٌ رَحِيْمٌ}
“…Sungguh, Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.” (QS. Al-Baqarah: 173)
Di sini ada dua faedah:
(1)- Di dalam ayat ini terdapat penetapan dua nama bagi Allah:
1. “Al-Ghafuur” (Maha Pengampun), yang mengandung sifat “Al-Maghfirah” (ampunan).
2. “Ar-Rahiim” (Maha Penyayang), yang mengandung sifat “Ar-Rahmah” (kasih sayang).
(2)- Digabungkannya ampunan dan rahmat karena: dengan ampunan maka hukuman atas hamba bisa gugur sehingga hamba tidak disiksa atas dosanya (karena mendapat ampunan). Adapun Rahmat; maka dengan mendapatkannya: hamba bisa mendapatkan apa yang dia inginkan.
[Lihat: “Syarh Al-‘Aqiidah Al-Waasithiyyah” (I/253), karya Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullaah]
[7]- Pembahasan Ayat Ketujuh
{...فَاللهُ خَيْرٌ حَافِظًا وَهُوَ أَرْحَمُ الرَّاحِـمِيْـنَ}

“…maka Allah adalah penjaga yang terbaik dan Dia Maha Penyayang di antara para penyayang.” (QS. Yusuf: 64)
Maka di sini ditetapkan bahwa makhluk memiliki sifat rahmat (kasih sayang), akan tetapi berbeda dengan sifat rahmat bagi Allah. Bahkan dalam ayat ini disebutkan bahwa rahmat Allah lebih besar dari pada rahmat seluruh hamba-Nya, kalaulah seluruh rahmat (kasih sayang) dari semua makhluk dikumpulkan; maka tentulah rahmat (kasih sayang) Allah adalah lebih besar.
Dari ‘Umar bin Al-Khathtthab radhiyallaahu ‘anhu, dia berkata: Rasulullah shalallaahu ‘alaihi wa sallam datang menemui tawanan, tiba-tiba ada seorang tawanan wanita yang terlihat sedang mencari-cari, kemudian dia dapatkan seorang bayi dan langsung dia ambil dan ditempelkan ke perutnya dan dia menyusuinya. Maka Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada kami (para Shahabat): “Menurut kalian mungkinkah wanita ini melemparkan anaknya (tersebut) ke dalam api?” Kami (para Shahabat) berkata: Tidak demi Allah, kalau dia punya kemampuan untuk tidak melemparkannya. Maka Rasulullah shallalalahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لَــلّٰـهُ أَرْحَمُ بِعِبَادِهِ مِنْ هٰذِهِ بِوَلَدِهَا
“Sungguh, Allah lebih sayang terhadap hamba-Nya dibandingakn wanita ini terhadap anaknya.”
[Muttafaqun ‘Alaihi: HR. Al-Bukhari (no. 5999) dan Muslim (no. 2754)]
[8]- Faedah Dari Mengimani Sifat “Ar-Rahmah” (Kasih Sayang) Milik Allah
“Yaitu bahwa seorang insan selama dia mengetahui bahwa Allah Ta’aalaa adalah “Rahiim” (Maha Penyayang); maka dia akan senantiasa bergantung kepada rahmat Allah dan menunggu datangnya (rahmat) tersebut.
Dan keyakinan ini tentunya akan mendorongnya untuk melakukan semua sebab yang bisa mengantarkan kepada rahmat; seperti:
(1)- Ihsan (berbuat baik), Allah Ta’aalaa berfiman:
{...إِنَّ رَحْـمَةَ اللهِ قَرِيْبٌ مِنَ الْمُحْسِنِيـْنَ}
“…Sesungguhnya rahmat Allah sangat dekat kepada orang yang berbuat kebaikan.” (QS. Al-A’raaf: 56)
(2)- Taqwa (dengan melaksanakan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya), Allah Ta’aalaa berfirman:
{...وَرَحْـمَتِـيْ وَسِعَتْ كُلَّ شَيْءٍ فَسَأَكْـتُــبُهَا لِلَّذِيْنَ يَــتَّـقُوْنَ وَيُـؤْتُـوْنَ الزَّكَاةَ وَالَّذِيْنَ هُمْ بِآيَاتِــنَا يُؤْمِنُوْنَ}
“…dan rahmat-Ku meliputi segala sesuatu. Maka akan aku tetapkan rahmat-Ku bagi orang-orang yang bertakwa, yang menunaikan zakat, dan orang-orang yang beriman kepada ayat-ayat Kami.” (QS. Al-A’raaf: 156)
 (3)- Iman, karena iman merupakan sebab datangnya rahmat Allah, sebagaimana firman Allah Ta’aalaa:
{...وَكَانَ بِالْمُؤْمِنِـيْـنَ رَحِــيْـمًا}
 “…Dan Dia (Allah) “Rahiim” (Maha Penyayang) kepada orang-orang yang beriman.” (QS. Al-Ahzaab: 43)
Sehingga semakin kuat iman seseorang; maka rahmat akan semakin dekat dengannya dengan izin Allah ‘Azza Wa Jalla.”
[Syarh Al-‘Aqiidah Al-Waasithiyyah” (I/259), karya Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullaah]
-ditulis oelh: Ahmad Hendrix-


Rabu, 06 September 2017

KAJIAN 'AQIDAH WASITHIYYAH (10)



[Penetapan Sifat “Mahabbah” (Cinta) Bagi Allah]
 [1]- Pembahasan Ayat Pertama:

...وَأَحْسِــنُوْا إِنَّ اللهَ يُـحِبُّ الْمُحْسِــنِـيْـنَ

“…dan berbuat baiklah. Sungguh, Allah mencintai orang-orang yang berbuat baik.” (QS. Al-Baqarah: 195)
Dalam ayat ini terdapat: (1)perintah untuk berbuat Ihsan, dan (2)pengabaran bahwa Allah mencintai orang-orang yang berbuat Ihsan.
Ihsan ada 2 (dua):
1- Ihsan dalam beribadah kepada Allah, yaitu: (1)dengan beribadah kepada Allah seolah-olah engkau melihat-Nya, dan jika tidak mampu untuk sampai ke derajat ini; maka (2)engkau senantiasa merasa diawasi oleh Allah.
2- Ihsan kepada manusia, yaitu: (1)dengan tidak mengganggu mereka, (2)memberikan kedermawanan -baik berupa: harta, tenaga, maupun menggunakan jabatannya untuk membantu memudahkan urusan manusia, (3)dan memenuhi wajah dengan senyuman (walaupun terkadang seseorang bermuka masam karena dia sedang marah ataupun semisalnya).
...إِنَّ اللهَ يُـحِبُّ الْمُحْسِــنِـيْـنَ
“…Sungguh, Allah mencintai orang-orang yang berbuat baik.”
Ini merupakan balasan bagi orang yang berbuat Ihsan; yaitu: Allah akan mencintainya. Dan kecintaan Allah terhadap hamba adalah lebih tinggi dibandingkan kecintaan seorang hamba terhadap Allah. Oleh karena itu sebagian ulama berkata: “Yang penting adalah bahwa Allah mencintaimu, bukan hanya engkau mencintai-Nya.”
Maka dalam ayat ini terdapat sifat “Al-Mahabbah” (cinta) bagi Allah, yang tentunya sifat “Al-Mahabbah” (kecintaan) ini tidak sama dengan “Al-Mahabbah” (kecintaan) milik makhluk-Nya.
[2]- Pembahasan Ayat Kedua:
...وَأَقْسِــطُوْا إِنَّ اللهَ يُـحِبُّ الْمُقْسِــطِـيْـنَ
“…dan berlakulah adil. Sungguh, Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil.” (QS. Al-Hujuraat: 9)
Dalam ayat ini terdapat: (1)perintah untuk berbuat adil, dan (2)pengabaran bahwa Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil.
Termasuk dalam keadilan:
1- Adil dalam bermu’amalah (berinteraksi) dengan Allah ‘Azza Wa Jalla, yakni: Allah telah memberikan berbagai nikmat kepadamu; maka termasuk bentuk keadilan adalah: engkau melaksanakan syukur kepadanya. Demikian juga Allah telah menunjukkan kebenaran kepadamu; maka termasuk keadilan: engkau mengikuti dan mengamalkan kebenaran tersebut.
2- Adil dalam bermu’amalah (berinteraksi) dengan manusia; yakni: engkau memperlakukan mereka dengan dengan cara yang engkau suka mereka memperlakukanmu dengannya.
3- Adil dalam melakukan pemberian terhadap anak-anak.
4- Adil di antara ahli waris, dengan memberikan bagiannya masing-masing sesuai syari’at.
5- Adil dalam membagi giliran di antara para istri (bagi yang melakukan ta’addud/poligami).
6- Adil terhadap diri sendiri, dengan tidak membebani diri dengan amalan yang di luar kemampuan.
Dan seterusnya.
Peringatan!
Kemudian harus diketahui tentang adanya sebagian orang yang menggunakan kalimat “Al-Musaawaah” (persamaaan): sebagai ganti dari “Al-‘Adl” (keadilan). Maka ini adalah salah, karena persamaan menuntut adanya: harus sama antara dua hal, sedangkan ini tidak sesuai dengan hikmah.
Akibat slogan persamaan ini; maka manusia mengatakan: “Tidak ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan!” Padahal dalam Islam -dan juga secara fitroh dan realita (kenyataan)-: sangat banyak perbedaan antara laki-laki dan perempuan.
Adapun yang dimaksud dengan adil yaitu: memberikan setiap orang sesuai dengan haknya.
Sehingga salah kalau dikatakan bahwa: agama Islam adalah agama persamaan.
Yang benar adalah: agama Islam adalah agama keadilan; yaitu: menggabungkan/menyamakan antara dua hal yang sama dan memisahkan/membedakan antara dua hal yang berbeda.
Dan di dalam Al-Qur’an Allah tidak memerintahkan persamaan, akan tetapi yang Dia perintahkan adalah keadilan:
إِنَّ اللهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ...
“Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil…” (QS. An-Nahl: 90)
...وَإِذَا حَكَمْتُمْ بَـيْـنَ النَّاسِ أَنْ تَـحْكُمُـوْا بِالْعَدْلِ...
“…dan (Allah memerintahkanmu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil…” (QS. An-Nisaa’: 90)
Justru di dalam Al-Qur’an seringkali Allah menafikan persamaan; seperti firman-Nya:
...قُلْ هَلْ يَسْتَوِي الَّذِيْنَ يَعْلَمُوْنَ وَالَّذِيْنَ لا يَعْلَمُوْنَ...
“…Katakanlah: “Apakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?”…” (QS. Az-Zumar: 9)
Juga seperti firman-Nya:
...لَا يَسْتَوِي مِنْكُمْ مَنْ أَنْفَقَ مِنْ قَبْلِ الْفَتْحِ وَقَاتَلَ أُولَئِكَ أَعْظَمُ دَرَجَةً مِنَ الَّذِينَ أَنْفَقُوا مِنْ بَعْدُ وَقَاتَلُوا...
 “…Tidak sama orang yang menginfakkan (hartanya di jalan Allah) di antara kamu dan berperang sebelum penaklukan (Mekah). Mereka lebih tinggi derajatnya daripada orang-orang yang menginfakkan (hartanya) dan berperang setelah itu…” (QS. Al-Hadiid: 10)
Dan ayat-ayat lainnya.
Maka dalam ayat ini terdapat sifat “Al-Mahabbah” (cinta) bagi Allah, yaitu: Allah mencintai orang-orang yang berbuat adil.
[3]- Pembahasan Ayat Ketiga:

...فَمَا اسْتَقَامُوْا لَكُمْ فَاسْــــتَـقِـيْمُوْا لَـهُمْ إِنَّ اللهَ يُـحِبُّ الْمُـتَّـــقِـيْـنَ

“…maka selama mereka berlaku jujur terhadapmu; hendaklah kamu berlaku jujur pula terhadap mereka. Sungguh, Allah mencintai orang-orang yang bertaqwa.” (QS. At-Taubah: 7)
Di sini ada 3 (tiga) pembahasan:
(1)- Makna ayat ini adalah: selama orang-orang kafir “Mu’aahad” (yang ada perjanjian dengan kaum muslimin) itu memenuhi perjanian mereka; maka hendaknya kalian juga memenuhi perjanjian tersebut. Dan Allah mencintai orang-orang yang bertaqwa; baik bertaqwa dalam masalah memenuhi perjanjian, maupun bertaqwa dalam perkara-perkara lainnya.
(2)- Dan makna Taqwa -secara luas- adalah: menjadikan pelindung dari adzab Allah, dengan cara: melaksanakan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya.
(3)- Dalam ayat ini terdapat sifat “Al-Mahabbah” (cinta) bagi Allah, yaitu: Allah mencintai orang-orang yang bertaqwa.
[4]- Pembahasan Ayat Keempat:

...إِنَّ اللهَ يُـحِبُّ الـتَّــوَّابِـيْـنَ وَيُـحِبُّ الْمُـتَـطَـهِّـرِيْـنَ

“…Sungguh, Allah mencintai orang-orang yang banyak/sering bertaubat dan orang-orang yang menyucikan diri.” (QS. Al-Baqarah: 222)
Di sini ada 4 (empat) pembahasan:
(1)- Pembahasan tentang Taubat.
Taubat adalah: kembali kepada Allah, yakni: dari bermaksiat kepada Allah; menuju ketaatan kepada-Nya.
Syarat Taubat ada 5 (lima):
1- Ikhlas karena Allah Ta’aalaa; dimana pendorongnya untuk bertaubat adalah: takut akan siksa Allah dan mengharapkan pahala dari-Nya.
2- Menyesali perbuatan dosanya, dimana dia berangan-angan seandainya dosa itu tidak terjadi.
3- Meninggalkan dosa tersebut, dengan cara:
(a)- Jika dosanya berupa melakukan yang haram; maka: dengan meninggalkan hal yang haram tersebut.
(b)- Jika dosanya berupa meninggalkan kewajiban; maka: dengan melaksanakan kewajiban tersebut.
(c)- Jika dosanya berkaitan dengan hak orang lain; maka harus diselesaikan dengan orang tersebut.
4- Bertekad untuk tidak mengulangi perbuatan dosa tersebut.
5- Taubat dilakukan pada waktu masih diterimanya taubat; yaitu: ketika nyawa belum di kerongkongan dan ketika matahari belum terbit dari barat.
(2)- Pembahasan Tentang Thaharah (Menyucikan Diri).
Thaharah adalah: membersihkan diri dari hadats dan najas.
Hadats adalah: sifat yang ada pada diri seseorang yang menjadikan dia tidak bisa melaksanakan ibadah yang diharuskan suci di dalamnya. Seperti seorang yang buang angin; maka keadaan dia adalah berhadats, atau seorang yang kencing atau buang air besar; maka keadaan dia setelahnya dinamakan: berhadats (tidak suci). Adapun kotoran atau kencing yang dia keluarkan; itulah yang dinamakan najas.
Sehingga, Najas adalah: hal-hal yang jika keluar dari seseorang ataupun mengenai dirinya atau mengenai benda-benda yang akan dia gunakan (baju atau lainnya); maka harus dibersihkan berdasarkan syari’at.
(3)- Thaharah Zhahir Dan Thaharah Bathin.
Thaharah Bathin -yakni membersihkan jiwa dari kotoran dosa-: terdapat dalam:

إِنَّ اللهَ يُـحِبُّ الـتَّــوَّابِـيْـنَ

“Sungguh, Allah mencintai orang-orang yang banyak/sering bertaubat.”
Thaharah Zhahir -yakni membersihkan badan dari hadats dan najas-: terdapat dalam:

وَيُـحِبُّ الْمُـتَـطَـهِّـرِيْـنَ

“Dan (Allah) mencintai orang-orang yang menyucikan diri.”
(4)- Dalam ayat ini terdapat sifat “Al-Mahabbah” (cinta) bagi Allah, yaitu: Allah mencintai orang-orang yang banyak/sering bertaubat dan mencintai orang-orang yang menyucikan diri.[1]
[5]- Pembahasan Ayat Kelima

قُلْ إِنْ كُـنْـتُمْ تُـحِبُّوْنَ اللهَ فَـاتَّــبِـعُــوْنِـيْ يُـحْـبِـبْـكُمُ اللهُ...

“Katakanlah (wahai Rasul): Jika kamu mencintai Allah; maka ikutilah aku, niscaya Allah mencintaimu…” (QS. Ali ‘Imran: 31)
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullaah berkata:
“Para ulama Salaf menamakan ayat ini dengan nama “Ayat Ujian”, karena ada kaum yang mengaku cinta kepada Allah; maka Allah perintahkan Nabi-Nya untuk mengatakan kepada mereka: “Jika kamu mencintai Allah; maka ikutilah aku!”
Ini adalah tantangan bagi setiap orang yang mengaku cinta kepada Allah; maka dikatakan kepadanya: “Jika engkau jujur dalam mencintai Allah; maka ikutilah Rasul!”
Maka barangsiapa yang berbuat hal yang baru dalam agama Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam yang bukan bagian darinya, kemudian dia mengatakan: “Sungguh aku cinta kepada Allah dan Rasul-Nya dengan apa yang aku buat ini.” Maka kita katakan kepadanya: “Ini dusta! Kalaulah kecintaanmu jujur; maka tentunya engkau akan ittibaa’ (mengikuti) Rasul ‘alaihish shalaatu was salaam, dan engkau tidak mendahului beliau dengan memasukkan sesuatu ke dalam syari’at beliau: suatu perkara yang bukan berasal darinya.
Sehingga semakin seseorang itu mengikuti Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam; maka ia semakin cinta kepada Allah, (dan Allah pun cinta kepadanya- pent)”[2]
Dan telah dijelaskan bahwa: kecintaan Allah terhadap hamba adalah lebih tinggi dibandingkan kecintaan seorang hamba terhadap Allah. Oleh karena itulah sebagian ulama berkata: “Yang penting adalah bahwa Allah mencintaimu, bukan hanya engkau mencintai-Nya.”
Dalam ayat ini terdapat sifat “Al-Mahabbah” (cinta) bagi Allah, yaitu: Allah mencintai orang-orang yang ittibaa’ (mengikuti) Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam.
[6]- Pembahasan Ayat Keenam

... فَسَوْفَ يَأْتِـي اللهُ بِقَوْمٍ يُـحِبُّهُمْ وَيُـحِبُّوْنَهُ...

“…maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Dia mencintai mereka dan mereka pun mencintai-Nya…” (QS. Al-Maa-idah: 54)
Awal ayat ini adalah:

يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا مَنْ يَرْتَـدَّ مِنْكُمْ عَنْ دِيْــنِهِ فَسَوْفَ يَأْتِـي اللهُ بِقَوْمٍ يُـحِبُّهُمْ وَيُـحِبُّوْنَهُ...

“Wahai orang-orang yang beriman! Barangsiapa di antara kamu yang murtad (keluar) dari agamanya; maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Dia mencintai mereka dan mereka pun mencintai-Nya…” (QS. Al-Maa-idah: 54)
Yakni: barangsiapa dari kalian yang murtad dari agama Allah; maka itu tidak akan membahayakan Allah sama sekali, karena Allah Ta’aalaa Maha Kaya, tidak butuh kepada makhluk-Nya, bahkan Allah akan menghilangkannya dan menggantikannya dengan yang lebih baik.
Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Dia mencintai mereka dan mereka pun mencintai-Nya. Dan jika mereka mencintai Allah dan Allah pun mencintai mereka; maka tentulah mereka akan melaksanakan ketaatan kepada-Nya.[3]
Dalam ayat ini terdapat sifat “Al-Mahabbah” (cinta) bagi Allah.
[7]- Pembahasan Ayat Ketujuh

إِنَّ اللهَ يُـحِبُّ الَّذِيْنَ يُـقَاتِلُوْنَ فِـيْ سَــبِـيْلِهِ صَـــفًّا كَـأَنَّهُمْ بُــنْيَانٌ مَرْصُـوْصٌ 

“Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berperang di jalan-Nya dalam barisan yang teratur, mereka seakan-akan seperti suatu bangunan yang tersusun kokoh.” (QS. Ash-Shaff: 4)
Dalam ayat ini Allah mengabarkan tentang “Mahabbah” (cinta)-Nya kepada orang-orang yang memiliki sifat-sifat berikut:
(1)- Berperang.
(2)- Ikhlas di jalan Allah.
(3)- Saling menguatkan dan mendukung sesama muslim (dalam barisan yang teratur).
(4)- Mereka seperti bangunan.
(5)- Tidak ada yang menyusup di antara mereka yang bisa menimbulkan perpecahan (karena mereka kokoh).[4]
[8]- Pembahasan Ayat Kedelapan

وَهُوَ الْــغَـفُوْرُ الْوَدُوْدُ

“Dan Dialah Yang Maha Pengampun, Maha Pengasih.” (QS. Al-Buruuj: 14)
Di dalam ayat ini terkandung:
(1)- Nama “Al-Ghafuur” (Maha Pengampun), yang mengandung sifat “Al-Maghfirah” (mengampuni).
(2)- Nama “Al-Waduud” (Maha Pengasih), yang mengandung sifat “Al-Wudd” (kecintaan yang murni).[5]
-ditulis oleh: Ahmad Hendrix-


[1] Lihat: Syarh Al-‘Aqiidah Al-Waasithiyyah (I/224-233), karya Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullaah.
[2] Syarh Al-‘Aqiidah Al-Waasithiyyah (I/233-234), karya Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullaah.
[3] Lihat: Syarh Al-‘Aqiidah Al-Waasithiyyah (I/234-236), karya Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullaah.
[4] Lihat: Syarh Al-‘Aqiidah Al-Waasithiyyah (I/237-238), karya Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullaah.
[5] Lihat: Syarh Al-‘Aqiidah Al-Waasithiyyah (I/238), karya Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullaah.