PENUTUP (FIQ-HUL WAAQI’)
Maka, Waaqi’ (realita dan perkara
kontemporer) yang kita hadapi; telah dijelaskan dalam Al-Qur’an, baik akar
permasalahan, bahkan solusi dan jalan keluarnya. Akan tetapi: dikarenakan
kurangnya perhatian terhadap Al-Qur’an -dimana banyak dari kaum muslimin yang
meninggalkan Al-Qur’an-; maka muncullah berbagai macam opini dan juga solusi
yang tidak memiliki pondasi, dan juga tidak jelas: mau dibawa ke mana umat ini?
Adapun para Shahabat Nabi shallallaahu ‘alaihi
wa sallam; maka mereka mempunyai perhatian yang besar terhadap Al-Qur’an;
sehingga sangat menguasainya dan bisa beristinbath (mengambil hukum) darinya,
untuk kemudian diterapkan untuk realita yang ada. Sampai salah seorang Tabi’in:
Masruq bin Ajda’ (wafat th. 62 H) berkata:
مَا نَـسْأَلُ أَصْحَابَ مُـحَمَّدٍ عَنْ شَيْءٍ؛ إِلَّا
عِلْمُهُ فِـي الْـقُـرْآنِ، إِلَّا أَنَّ عِـلْـمَـنَا قَـصُـرَ عَـنْـهُ.
“Tidaklah kami
bertanya kepada para Shahabat Muhammad tentang suatu apapun; melainkan ilmunya (jawabannya)
terdapat dalam Al-Qur’an. Hanya saja ilmu kami (para tabi’in) tidak mampu
mencapainya.”
[Diriwayatkan
oleh Abu Khaitsamah dalam Kitaabul ‘ilmi (no. 50), dan Al-Khathib
Al-Baghdadi dalam Kitaab al-Faqiih wal Mutafaqqih (no. 195), serta dibawakan
oleh Imam Ibnul Qayyim dalam ash-Shawaa-‘iqul Mursalah (III/925)]
Sehingga, penulis mengajak kaum muslimin untuk
membaca Al-Qur’an sebagaimana para Shahabat Nabi membacanya, dimana “mereka
(para Shahabat Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam) bila membaca kurang
lebih sepuluh ayat; tidak akan mereka lewati (ayat-ayat) tersebut sebelum
mereka memahami dan mewujudkan hal-hal yang ditunjukkan oleh (ayat-ayat)
tersebut; berupa keimanan, ilmu dan amal, kemudian menempatkan (hal-hal)
tersebut pada keadaan-keadaan yang (nyata) terjadi.
Maka mereka
meyakini berita-berita yang terdapat di dalam (ayat-ayat) tersebut, tunduk
terhadap perintah-perintah dan larangan-larangannya, serta memasukkan segala
kejadian yang mereka saksikan dan realita-realita yang terjadi pada mereka dan
selain mereka; (mereka masukkan semuanya itu) kedalam (ayat-ayat) tersebut.
Kemudian mereka mengintrospeksi diri-diri mereka: Apakah mereka telah
melaksanakannya ataukah belum? Bagaimana cara untuk tetap istiqomah di dalam
perkara-perkara yang bermanfaat dan memperbaiki yang masih kurang? Dan
bagaimana caranya agar terbebas dari hal-hal yang berbahaya?
Sehingga mereka
mengambil petunjuk dari ilmu-ilmu Al-Qur’an dan berakhlak dengan akhlak-akhlak
dan adab-adabnya. Mereka mengetahui bahwa Al-Qur’an adalah firman (Allah) Yang
Mengetahui yang ghaib dan nyata, yang (firman ini) di arahkan kepada mereka,
dan mereka di tuntut untuk memahami maknanya dan mengamalkan konksekuensinya.
Maka
barangsiapa yang menempuh jalan yang mereka (para Shahabat) tempuh ini, dan
semangat serta bersungguh-sungguh dalam mentadabburi firman Allah; niscaya akan
terbuka baginya pintu terbesar dalam ilmu tafsir, menjadi kuat ilmunya, dan
bertambah pengetahuannya...khususnya
jika dia kuat dalam ilmu Bahasa Arab dan punya perhatian terhadap perjalanan
hidup Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam serta keadaan beliau bersama
para Shahabat beliau dan bersama musuh-musuh beliau. Karena (ilmu) tersebut
sangat membantu dalam (mencapai) tujuan ini (yakni: memahami Al-Qur’an-pent).”
[Al-Qawaa-‘idul
Hisaan (hlm. 17-18) karya Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullaah]
- diambil dari Muqaddimah
Al-Istinbaath (2), karya penulis.
Wa Shallallaahu
‘Alaa Nabiyyinaa Muhammad Wa ‘Alaa Aalihi Wa Shahbihi Wa Sallam.
Wa Aakhiru Da’waanaa:
Anil Hamdu Lillaahi Rabbil ‘Aalamiin.
Pemalang, 14 Muharram 1438 H
15 Oktober 2016 M
Ahmad Hendrix
Tidak ada komentar:
Posting Komentar