EMPAT PERTANYAAN DALAM
MASALAH TAKDIR
PERTANYAAN PERTAMA:
Kenapa amal perbuatan
manusia -yang mana itu muncul dari kehendaknya- masuk dalam ciptaan Allah?
Jawab: Karena perbuatan
manusia muncul dari kehendak/keinginan dan kemampuan:
-
tidak akan muncul perbuatan yang tidak diinginkan -walaupun dia mampu-,
- dan tidak akan muncul
perbuatan yang memang dia tidak mampu untuk melaksanakannya -walaupun dia
menghendaki-.
Sedangkan keduanya
(kehendak dan kemampuan) merupakan ciptaan Allah. Hal itu bisa dirasakan ketika
tiba-tiba keinginan bisa berubah, atau melemah, dan lain-lain, dan dengan
kemampuan yang tiba-tiba Allah lemahkan atau Allah hilangkan.
PERTANYAAN KEDUA:
Kalau amal perbuatan
manusia adalah Allah yang mentakdirkan; maka kenapa kemudian Dia mengadzab
mereka atas dosa-dosa mereka; padahal Dia lah yang telah menciptakan perbuatan
manusia; bukankah ini tidak adil?
Jawab: Memang Allah lah
yang menciptakan perbuatan hamba; termasuk dosa, akan tetapi itu adalah sebagai
hukuman atas dosa sebelumnya, karena hukuman bagi kemaksiatan adalah
kemaksiatan yang selanjutnya.
PERTANYAAN KETIGA:
Kalau Allah
mentakdirkan dosa disebabkan dosa yang sebelumnya; lalu bagaimana dengan dosa
yang pertama?
Jawab: Itu juga sebagai
hukuman atas tidak adanya pengamalan terhadap tujuan dia diciptakan di dunia;
yaitu: beribadah kepada Allah.
Karena Allah menciptakan
hamba untuk beribadah kepada-Nya saja; tidak ada sekutu bagi-Nya, dan Allah
memfitrahkan hamba untuk mencintai-Nya, beribadah kepada-Nya dan senantiasa
kembali kepada-Nya.
Tatkala hamba tidak
melakukan tujuan dia diciptakan: berupa cinta kepada Allah, beribadah
kepada-Nya dan senantiasa kembali kepada-Nya; maka hamba dihukum atas ketidak
adaan hal tersebut dengan hukuman berupa: adanya syaithan yang menghias-hiasi
perbuatannya berupa kesyirikan dan kemaksiatan; dan hal itu mengenai hati yang
kosong yang bisa menerima kebaikan maupun keburukan.
Kalau lah ada kebaikan
dalam hati yang bisa digunakan untuk menolak kejelekkan; maka kejelekkan tidak
akan menetap di dalamnya.
PERTANYAAN KEEMPAT:
Kalau dosa pertama
dikarenakan mereka tidak mau melaksanakan ibadah -yang merupakan tujuan mereka
diciptakan-; lalu kenapa Allah memberikan petunjuk kepada yang ini untuk
melakukan ibadah dan tidak memberikan petunjuk kepada yang itu?
Jawab: Ini adalah
pertanyaan tentang HIKMAH Allah; kenapa Dia memberikan karunia kepada yang ini
dan tidak memberikannya kepada yang itu.
Maka Allah sendiri yang
langsung menjawabnya dengan firman-Nya:
...ذَلِكَ فَضْلُ اللَّهِ
يُؤْتِيهِ مَنْ يَشَاءُ وَاللَّهُ ذُو الْفَضْلِ الْعَظِيمِ
“…Itulah karunia Allah,
yang diberikan kepada siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah mempunyai karunia
yang besar.” (QS. Al-Hadid: 23)
Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyyah -rahimahullaah- berkata dalam Minhajus Sunnah (III/177):
“Rincian HIKMAH Allah
dalam penciptaan dan perintahnya; tidak mampu diketahui oleh akal-akal
manusia.”
Demikian juga dikatakan
oleh Imam Ibnul Qayyim -rahimahullaah- dalam Ash-Shawaa-‘iqul Mursalah-
(IV/1560). Dan beliau juga berkata (Mukhtashar Ash-Shawaa-‘iq Al-Mursalah) (hlm. 324-325- cet. Daarul
Fikr):
“Dan tidak termasuk
hikmah: memberikan ilmu kepada salah satu individu manusia tentang kesempurnaan
HIKMAH Allah dalam pemberian dan pencegahan-Nya. Bahkan, kalau Allah nampakkan
bagi hamba tentang sedikit dari HIKMAH-Nya dalam penciptaan, perintah, pahala
dan hukuman-Nya, dan hamba meperhatikan keadaan tempat-tempat hal tersebut;
maka dengan apa yang telah hamba ketahui (tentang hikmah Allah dalam
tempat-tempat tersebut); dia jadikan dalil (untuk meng-qiyas-kannya kepada) apa
yang tidak dia ketahui.”
Tatkala orang-orang
musyrik merasa janggal terhadap peng-khusus-an ini dengan perkataan mereka:
...أَهَؤُلاءِ مَنَّ اللَّهُ
عَلَيْهِمْ مِنْ بَيْنِنَا...
“…Orang-orang semacam
inikah di antara kita yang diberi anugerah oleh Allah?...” (QS. Al-An’aam: 53)
Maka Allah menjawab
mereka dengan firman-Nya:
...أَلَيْسَ اللَّهُ بِأَعْلَمَ
بِالشَّاكِرِينَ
“…Tidakkah Allah yang
lebih mengetahui tentang mereka yang bersyukur kepada-Nya?” (QS. Al-An’aam: 53)
Ini adalah jawaban yang
mencukupi dan memuaskan, di dalamnya terkandung bahwa Allah lebih mengetahui
terhadap tempat yang pantas untuk ditanami pohon nikmat; sehingga akan
membuahkan syukur, dan Allah mengetahui tempat yang tidak layak, yang kalau
ditanami pohon nikmat; maka tidak akan berbuah, sehingga menanami nikmat
padanya adalah suatu hal yang sia-sia dan tidak sesuai dengan hikmah.
Sebagaimana firman Allah:
...اللَّهُ أَعْلَمُ حَيْثُ
يَجْعَلُ رِسَالَتَهُ...
“…Allah lebih
mengetahui di mana Dia menempatkan tugas kerasulan-Nya…” (QS. Al-An’aam: 124)
[Lihat:
Mukhtashar Ash-Shawaa-‘iq Al-Mursalah
(hlm. 320-325- cet. Daarul Fikr), Syarh Al-‘Aqidah Ath-Thahawiyyah (hlm.
439-443- takhriij Imam Al-Albani), dan At-Tanbiihaat Al-Lathiifah (hlm. 82-
tahqiiq Syaikh ‘Ali Al-Halabi)]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar