SATU PEMBAHASAN TENTANG
ISTILAH SALAFI
1. TA’SHIIL
Imam Abu Dawud
As-Sijistani (penulis kitab “Sunan Abu Dawud” dan salah satu murid Imam Ahmad)
berkata: Saya mendengar Ahmad bin Hanbal ditanya: Apakah ada rukh-shah
(keringanan) bagi seseorang untuk mengatakan: “Al-Qur’an adalah Kalaamullaah”
kemudian dia diam?” Maka beliau (Imam Ahmad) menjawab:
وَلِـمَ يَـسْـكُـتُ؟! وَلَـوْ لَا مَـا وَقَـعَ فِـيْـهِ
الـنَّـاسُ؛ كَـانَ يَـسَـعُـهُ السُّـكُـوْتُ، وَلٰـكِـنْ حَـيْـثُ تَـكَـلَّـمُـوْا
فِـيْـمَا تَـكَـلَّـمُـوْا؛ لِأَيِّ شَـيْءٍ لَا يَـتَـكَـلَّـمُـوْنَ؟!
“Kenapa diam?! Kalaulah
bukan karena manusia terjatuh (kedalam Bid’ah ini); tentulah dia boleh diam.
Akan tetapi tatkala mereka (Jahmiyyah) mengeluarkan perkataan mereka (bahwa
Kalaamullaah adalah makhluk-pent); maka atas dasar apa kemudian mereka (Ahlus
Sunnah) tidak berbicara (menjelaskan kebenaran-pent).”
Setelah meriwayatkan
perkataan Imam Ahmad ini; Imam Abu Bakar Muhammad bin Husain Al-Ajurri (wafat
th. 360 H) –rahimahulaah- berkata:
“Makna perkataan Imam
Ahmad dalam hal ini adalah: bahwa kaum mukminin (awalnya) tidak berselisih
bahwa Al-Qur’an adalah Kalaamullaah. Akan tetapi tatkala datang Jahm (bin
Shafwan) membawa kekufuran dengan perkataanya: “Al-Qur’an adalah makhluk”, maka
tidak boleh bagi para ulama melainkan harus membantahnya dengan mengatakan:
“Al-Qur’an adalah Kalaamullaah, bukan makhluk”, tidak boleh ragu dan tidak
boleh tawaqquf (tidak mengambil sikap). Barangsiapa yang tidak mau mengatakan:
“bukan makhluk”, maka dia dinamakan Waqifi, orang yang ragu dalam agamanya.”
[Asy-Syarii’ah (hlm.
87-tahqiiq Muhammad Hamid Al-Fiqqi)]
2. TAFRII’ (CABANG
PEMBAHASAN)
Awalnya kaum muslimin
adalah tidak berpecah belah sehingga dicukupkan dengan penyebutan muslim dan
mukmin, sampai akhirnya
terjadilah apa yang dikabarkan oleh Nabi -shallallaahu ‘alaihi wa sallam- dalam
sabda beliau:
...وَإِنَّ هٰذِهِ الْأُمَّةَ سَـتَـفْـتَــرِقُ عَلَى ثَلَاثٍ وَسَبْعِـيْـنَ
مِلَّةً -يَعْنِـيْ: الْأَهْوَاءَ-، كُلُّهَا فِـي النَّارِ إِلَّا وَاحِدَةً،
وَهِيَ الْـجَمَاعَةُ...وَفِـيْ رِوَايَـةٍ: مَا أَنَا عَلَيْهِ وَأَصْحَابِـيْ
“…Dan sungguh, umat ini akan berpecah belah menjadi
tujuh puluh tiga golongan -yakni: para pengikut hawa nafsu (bid’ah)-; semuanya
masuk Neraka kecuali satu, yaitu Al-Jamaa’ah.”
Dalam riwayat lain: “(Yang mengikuti) apa yang aku dan para Shahabatku
berada diatasnya.”
Umat Islam berpecah belah dengan bermuncul-annya
kelompok-kelompok Ahlul Bid’ah, dan yang selamat adalah yang mengikuti Nabi -shallallaahu
‘alaihi was allam- dan para Shahabat beliau -radhiyallaahu ‘anhum ajma’iin-.
Maka yang ingin menempuh jalan ini harus membedakan diri dengan kelompok-kelompok
Ahlul Bid’ah. Maka: “Sesungguhnya
istilah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah muncul ketika timbul bid’ah-bid’ah yang
meyesatkan sebagian manusia. Maka perlu nama untuk membedakan umat Islam yang
komitmen berpegang dengan Sunnah. Nama itu adalah Ahlus Sunnah sebagai lawan
Ahlul Bid’ah. Ahlus Sunnah juga disebut Al-Jama’ah; karena mereka adalah
kelompok asal (asli); sedangkan orang-orang yang terpecah dari Ahlus Sunnah
-dikarenakan bid’ah dan hawa nafsu- adalah orang-orang yang menyelisihi mereka
(Ahlus Sunnah Wal Jama’ah).
Sedangkan saat ini,
istilah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah telah menjadi rebutan berbagai kaum dan
jama’ah yang beraneka ragam. Bisa kita saksikan sendiri: banyak kaum hizbi yang
menyebut jama’ah dan organisasi mereka dengan istilah ini. Bahkan beberapa
thariqah (tarekat) Sufi melakukan hal yang sama. Sampai-sampai Asy’ariyah,
Maturidiyah, Berelwiyah dan lain-lainnya mengatakan: “Kami adalah Ahlus Sunnah
wal Jama’ah.”
Namun mereka semua
menolak untuk menamakan diri mereka dengan Salafiyah! Mereka menjauhkan diri
untuk menisbatkan diri mereka kepada Manhaj Salaf!! Terlebih lagi dalam
kenyataan dan hakikat (keyakinan dan amalan) mereka!!”
[Ru’yah Waqi’iyyah Fil Manaahij Al-Jadiidah (hlm. 22-
cet. I) karya Syaikh ‘Ali bin Hasan Al-Halabi –hafizhahullaah-, lihat perkataan
beliau selengkapnya pada: Al-Maqaalaat (2); Makalah Keempat Puluh Empat: Sururi
Menolak Penyebutan Dakwah Mereka Dengan Dakwah Salafiyah.]
Dengan demikian; maka terbedakanlah orang yang ingin
mengikuti Nabi -shallallaahu ‘alaihi was allam- dan para Shahabat beliau -radhiyallaahu
‘anhum- dengan mengatakan bahwa dirinya adalah Salafi (pengikut
Salaf/Shahabat).
Wallaahu A’lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar