بسم الله الرحمن الرحيم
MUQADDIMAH (AL-MAQAALAAT 1)
إِنَّ
الْحَمْدَ لِلّٰهِ، نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ، وَنَعُوْذُ بِاللهِ
مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَسَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا، مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلَا
مُضِلَّ لَهُ، وَمَنْ يُضْلِلْ فَلَا هَادِيَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنْ لَا إِلٰهَ
إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ
وَرَسُوْلُهُ.
Segala puji hanya bagi Allah, kami memuji-Nya, memohon pertolongan dan
ampunan kepada-Nya, kami berlindung kepada Allah dari kejahatan diri-diri kami dan kejelekan amal perbuatan kami.
Barangsiapa yang Allah beri petunjuk; maka tidak ada yang bisa menyesatkannya, dan
barangsiapa Dia sesatkan; maka tidak ada yang dapat memberinya petunjuk. Aku
bersaksi bahwa tidak ada
sesembahan yang berhak diibadahi dengan benar selain Allah saja, tidak ada sekutu bagi-Nya. Dan aku
bersaksi bahwa Muhammad shallallaahu
‘alaihi wa sallam adalah hamba dan Rasul-Nya.
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلا تَمُوتُنَّ
إِلا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ
“Wahai orang-orang yang
beriman! Bertakwa-lah kepada Allah sebenar-benar takwa kepada-Nya, dan
janganlah kamu mati kecuali dalam keadaan muslim.” (QS. Ali ‘Imran: 102)
يَا
أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ
وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالا كَثِيرًا وَنِسَاءً
وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالأرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ
عَلَيْكُمْ رَقِيبًا
“Wahai manusia! Bertakwalah kepada Rabb-mu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu (Adam), dan (Allah) menciptakan pasangan-nya (Hawa) dari (diri)nya, dan dari keduanya Allah memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Bertakwalah kepada Allah yang dengan nama-Nya kamu saling meminta, dan (peliharalah) hubungan kekeluarga-an. Sesungguh-nya Allah selalu menjaga dan mengawasimu.” (QS. An-Nisaa’: 1)
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلا سَدِيدًا * يُصْلِحْ
لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ
وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيمًا
“Wahai orang-orang yang
beriman! Bertakwa-lah kamu kepada Allah dan ucapkanlah perkataan yang benar;
niscaya Allah akan memperbaiki amal-amalmu dan mengampuni dosa-dosamu. Dan
barangsiapa menaati Allah dan Rasul-Nya; maka sungguh, dia menang dengan
kemenangan yang agung.” (QS. Al-Ahzaab: 70-71)
أَمَّا
بَعْدُ، فَإِنَّ أَصْدَقَ الْحَدِيْثِ كِتَابُ اللهِ، وَخَيْرَ الْهَدْيِ هَدْيُ
مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَشَرَّ الأُمُوْرِ
مُحْدَثَاتُهَا، وَكُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ، وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ، كُلَّ
ضَلَالَةٍ فِي النَّارِ.
Amma ba’du. Sungguh, sebenar-benar perkata-an adalah
Kitabullah (Al-Qur’an), dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad -shallallaahu
‘alaihi wa sallam- (As-Sunnah). Seburuk-buruk perkara adalah perkara yang
diada-adakan (dalam agama), karena setiap yang diada-adakan (dalam agama)
adalah Bid’ah, dan setiap Bid’ah adalah sesat, dan setiap kesesatan tempatnya
di Neraka.
Ini adalah kumpulan makalah-makalah -yang
ditulis dalam waktu yang berbeda-beda-; yang umumnya merupakan usaha untuk
menggabungkan antara ilmu syar’i dengan realita yang ada, menggabungkan antara
teori dan praktek.
Imam Ibnul Qayyim Al-Jauziyyah -rahimahullaah- berkata:
“Seorang mufti dan hakim; tidak akan bisa
berfatwa dan menghukumi kecuali dengan dua jenis pemahaman:
Pertama: Pemahaman terhadap realita, (dengan)
mendalaminya dan berusaha mengetahui hakikat kejadian (dan keadaan) yang
sebenarnya, (yaitu) dengan (cara) mempelajari indikasi dan tanda-tanda,
sehingga dia benar-benar menguasai (realita) tersebut.
Kedua: Pemahaman terhadap kewajiban (kita) dalam
menghadapi realita tersebut, yaitu: pemahaman terhadap hukum Allah yang
terdapat dalam kitab-Nya maupun (Sunnah) Rasul-Nya.
Kemudian dia menggabungkan dua jenis pemahaman
tersebut.
Barangsiapa yang bersungguh-sungguh dalam
mengerahkan kemampuannya dalam hal ini; maka (kalau benar) dia mendapat dua
pahala atau (kalau salah) dia mendapat satu pahala. Sehingga, yang dinamakan
‘alim (orang yang berilmu) adalah: orang yang mengetahui realita dan mem-pelajarinya,
kemudian pemahamannya (terhadap realita) ini dia gunakan untuk mengetahui
hukum Allah dan Rasul-Nya (dalam perkara-perkara tersebut)…
Barangsiapa memperhatikan syari’at dan
hukum-hukum para Shahabat (Nabi), maka dia akan mendapatkannya dipenuhi dengan
(metode) ini. Dan barangsiapa yang tidak menempuh (jalan) ini; maka dia akan
menyia-nyiakan hak manusia dan menisbatkan (ketidak adilan) tersebut kepada
syari’at (Islam) yang Allah turunkan kepada Rasul-Nya.”
[“I’laamul Muwaqqi’iin” (I/165-166- cet. III)]
Dan banyak dari tulisan ini yang juga merupakan
usaha pembuktian bahwa segala perselisihan -dalam masalah agama-; maka
jawabannya terdapat di dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah, sebagaimana
Allah firmankan:
... فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي
شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ
بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ...
“…Kemudian, jika
kamu berbeda pendapat tentang sesuatu; maka kembalikanlah kepada Allah
(Al-Qur'an) dan Rasul (Sunnah-nya), jika kamu beriman kepada Allah dan Hari Akhir…”
(QS. Qn-Nisaa’: 59).”
Imam Ibnul Qayyim -rahimahullaah- berkata:
“Firman Allah:
... فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي
شَيْءٍ...
“…Kemudian, jika kamu berbeda pendapat
tentang sesuatu;…” (QS. Qn-Nisaa’: 59).
Adalah nakirah dalam konteks syarat;
sehingga mencakup segala hal yang diperselisihkan oleh kaum mukminin dalam
permasalahan-permasalahan agama; yang kecil maupun yang besar dan yang jelas
maupun yang samar.
Kalau lah di dalam Kitabullah dan Sunnah
Rasul-Nya tidak ada penjelasan tentang hukum yang mereka perselisihkan dan
tidak mencukupi; maka tentulah Allah tidak memerintahkan untuk kembali
kepadanya. Karena, tidak mungkin ketika terjadi perselisihan; Allah
memerintahkan untuk kembali kepada sesuatu yang tidak ada ada jawaban di
dalamnya.”
[“I’laamul Muwaqqi’iin” (I/92- cet. III)]
Selain itu, disebutkan juga banyak faedah yang diambil dari perkataan para ulama, pewaris para Nabi [sebagaimana disebutkan dalam hadits riwayat Abu Dawud (no. 3641) dan lainnya], yang Allah perintahkan kita untuk bertanya kepada mereka.
Allah -Ta’aalaa- berfirman:
...
فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لا تَعْلَمُونَ
“…maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai
pengetahuan jika kamu tidak mengetahui.” (QS. An-Nahl: 43)
Wallaahu A’lam.
-ditulis oleh: Ahmad Hendrix-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar