Sabtu, 25 Februari 2017

MUQADDIMAH AL-MAQAALAAT 1



بسم الله الرحمن الرحيم


MUQADDIMAH (AL-MAQAALAAT 1)


إِنَّ الْحَمْدَ لِلّٰهِ، نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ، وَنَعُوْذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَسَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا، مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلَا مُضِلَّ لَهُ، وَمَنْ يُضْلِلْ فَلَا هَادِيَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنْ لَا إِلٰهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ.

Segala puji hanya bagi Allah, kami memuji-Nya, memohon pertolongan dan ampunan kepada-Nya, kami berlindung kepada Allah dari kejahatan diri-diri kami dan kejelekan amal perbuatan kami. Barangsiapa yang Allah beri petunjuk; maka tidak ada yang bisa menyesatkannya, dan barangsiapa Dia sesatkan; maka tidak ada yang dapat memberinya petunjuk. Aku bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang berhak diibadahi dengan benar selain Allah saja, tidak ada sekutu bagi-Nya. Dan aku bersaksi bahwa Muhammad shallallaahu ‘alaihi wa sallam adalah hamba dan Rasul-Nya.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلا تَمُوتُنَّ إِلا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ

“Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwa-lah kepada Allah sebenar-benar takwa kepada-Nya, dan janganlah kamu mati kecuali dalam keadaan muslim.” (QS. Ali ‘Imran: 102)

يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالا كَثِيرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالأرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا

“Wahai manusia! Bertakwalah kepada Rabb-mu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu (Adam), dan (Allah) menciptakan pasangan-nya (Hawa) dari (diri)nya, dan dari keduanya Allah memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Bertakwalah kepada Allah yang dengan nama-Nya kamu saling meminta, dan (peliharalah) hubungan kekeluarga-an. Sesungguh-nya Allah selalu menjaga dan mengawasimu.”  (QS. An-Nisaa’: 1)

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلا سَدِيدًا * يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيمًا

“Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwa-lah kamu kepada Allah dan ucapkanlah perkataan yang benar; niscaya Allah akan memperbaiki amal-amalmu dan mengampuni dosa-dosamu. Dan barangsiapa menaati Allah dan Rasul-Nya; maka sungguh, dia menang dengan kemenangan yang agung.”  (QS. Al-Ahzaab: 70-71)

أَمَّا بَعْدُ، فَإِنَّ أَصْدَقَ الْحَدِيْثِ كِتَابُ اللهِ، وَخَيْرَ الْهَدْيِ هَدْيُ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَشَرَّ الأُمُوْرِ مُحْدَثَاتُهَا، وَكُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ، وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ، كُلَّ ضَلَالَةٍ فِي النَّارِ.

Amma ba’du. Sungguh, sebenar-benar perkata-an adalah Kitabullah (Al-Qur’an), dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad -shallallaahu ‘alaihi wa sallam- (As-Sunnah). Seburuk-buruk perkara adalah perkara yang diada-adakan (dalam agama), karena setiap yang diada-adakan (dalam agama) adalah Bid’ah, dan setiap Bid’ah adalah sesat, dan setiap kesesatan tempatnya di Neraka.

Ini adalah kumpulan makalah-makalah -yang ditulis dalam waktu yang berbeda-beda-; yang umumnya merupakan usaha untuk menggabungkan antara ilmu syar’i dengan realita yang ada, menggabungkan antara teori dan praktek.

Imam Ibnul Qayyim Al-Jauziyyah -rahimahullaah- berkata:

“Seorang mufti dan hakim; tidak akan bisa berfatwa dan menghukumi kecuali dengan dua jenis pemahaman:

Pertama: Pemahaman terhadap realita, (dengan) mendalaminya dan berusaha mengetahui hakikat kejadian (dan keadaan) yang sebenarnya, (yaitu) dengan (cara) mempelajari indikasi dan tanda-tanda, sehingga dia benar-benar menguasai (realita) tersebut.

Kedua: Pemahaman terhadap kewajiban (kita) dalam menghadapi realita tersebut, yaitu: pemahaman terhadap hukum Allah yang terdapat dalam kitab-Nya maupun (Sunnah) Rasul-Nya.

Kemudian dia menggabungkan dua jenis pemahaman tersebut.

Barangsiapa yang bersungguh-sungguh dalam mengerahkan kemampuannya dalam hal ini; maka (kalau benar) dia mendapat dua pahala atau (kalau salah) dia mendapat satu pahala. Sehingga, yang dinamakan ‘alim (orang yang berilmu) adalah: orang yang mengetahui realita dan mem-pelajarinya, kemudian pemahamannya (terhadap realita) ini dia gunakan untuk mengetahui hukum Allah dan Rasul-Nya (dalam perkara-perkara tersebut)

Barangsiapa memperhatikan syari’at dan hukum-hukum para Shahabat (Nabi), maka dia akan mendapatkannya dipenuhi dengan (metode) ini. Dan barangsiapa yang tidak menempuh (jalan) ini; maka dia akan menyia-nyiakan hak manusia dan menisbatkan (ketidak adilan) tersebut kepada syari’at (Islam) yang Allah turunkan kepada Rasul-Nya.”

[“I’laamul Muwaqqi’iin” (I/165-166- cet. III)]

Dan banyak dari tulisan ini yang juga merupakan usaha pembuktian bahwa segala perselisihan -dalam masalah agama-; maka jawabannya terdapat di dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah, sebagaimana Allah firmankan:

... فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ...
“…Kemudian, jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu; maka kembalikanlah kepada Allah (Al-Qur'an) dan Rasul (Sunnah-nya), jika kamu beriman kepada Allah dan Hari Akhir…” (QS. Qn-Nisaa’: 59).”

Imam Ibnul Qayyim -rahimahullaah- berkata:

“Firman Allah:

... فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ...

 “…Kemudian, jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu;…” (QS. Qn-Nisaa’: 59).

Adalah nakirah dalam konteks syarat; sehingga mencakup segala hal yang diperselisihkan oleh kaum mukminin dalam permasalahan-permasalahan agama; yang kecil maupun yang besar dan yang jelas maupun yang samar.
Kalau lah di dalam Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya tidak ada penjelasan tentang hukum yang mereka perselisihkan dan tidak mencukupi; maka tentulah Allah tidak memerintahkan untuk kembali kepadanya. Karena, tidak mungkin ketika terjadi perselisihan; Allah memerintahkan untuk kembali kepada sesuatu yang tidak ada ada jawaban di dalamnya.”

[“I’laamul Muwaqqi’iin” (I/92- cet. III)]

Selain itu, disebutkan juga banyak faedah yang diambil dari perkataan para ulama, pewaris para Nabi [sebagaimana disebutkan dalam hadits riwayat Abu Dawud (no. 3641) dan lainnya], yang Allah perintahkan kita untuk bertanya kepada mereka.

Allah -Ta’aalaa- berfirman:

 ... فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لا تَعْلَمُونَ

“…maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui.” (QS. An-Nahl: 43)
Wallaahu A’lam.

-ditulis oleh: Ahmad Hendrix-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar