Sabtu, 25 November 2017

KAJIAN 'AQIDAH THAHAWIYYAH (2)



MATAN (REDAKSI) KITAB:
Imam Ath-Thahawi rahimahullaah berkata:
[٣]- وَلَا شَيْءَ يُعْجِزُهُ
[3]- “Tidak ada sesuatu pun yang melemahkan-Nya.”
PENJELASAN:
Imam Ibnu Abil ‘Izz Al-Hanafi (afat th. 792 H) rahimahullaah berkata:
“(Tidak ada sesuatu pun yang melemahkan Allah) dikarenakan kesempurnaan Qudrah (kekuasaan)-Nya.
Allah Ta’aalaa berfirman:
{...إِنَّ اللهَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ}
“Sungguh, Allah Mahakuasa atas segala sesuatu.” (QS. Al-Baqarah: 20)…
{...وَمَا كَانَ اللهُ لِيُعْجِزَهُ مِنْ شَيْءٍ فِي السَّمَاوَاتِ وَلَا فِي الأرْضِ إِنَّهُ كَانَ عَلِيْمًا قَدِيْرًا}
“…Dan tidak ada sesuatu pun yang dapat melemahkan Allah baik di langit maupun di bumi. Sungguh, Dia Maha Mengetahui, Mahakuasa.” (QS. Fathir: 44)…
Maka penafian ini (“Tidak ada sesuatu pun yang melemahkan-Nya.”) adalah untuk penetapan kesempurnaan dari lawan (sifat yang dinafikan) tersebut (penafian kelemahan untuk menunjukkan kesempurnaan kekuasaan bagi Allah- pent).
Demikian juga setiap penafian dalam sifat-sifat Allah Ta’aalaa dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah; maka untuk penetapan kesempurnaan dari lawan (sifat yang dinafikan) tersebut.
- Seperti (penafian sifat zhalim) dalam firman Allah:
{...وَلَا يَظْلِمُ رَبُّكَ أَحَدًا}
“…Dan Rabb-mu tidak menzhalimi seorang pun.” (QS. Al-Kahfi: 49)
Dikarenakan kesempurnaan keadilan-Nya.
- Dan firman-Nya:
{...لا يَعْزُبُ عَنْهُ مِثْقَالُ ذَرَّةٍ فِي السَّمَاوَاتِ وَلا فِي الأرْضِ...}
“…Tidak ada yang tersembunyi bagi-Nya sekalipun seberat zarrah, baik yang di langit maupun yang di bumi…” (QS. Saba’: 3)
Dikarenakan kesempurnaan ilmu-Nya.
- Dan firman-Nya:
{...وَمَا مَسَّنَا مِنْ لُغُوْبٍ}
“…dan Kami sedikit pun tidak ditimpa keletihan.” (QS. Qaaf: 38)…
Oleh karena itulah penetapan sifat-sifat Allah dalam Al-Qur’an disebutkan secara rinci, adapaun penafian; maka secara global. Berbeda dengan cara Ahli Kalam yang tercela: mereka menafikan secara rinci dan menetapkan secara global.”[1]
MATAN (REDAKSI) KITAB:
Imam Ath-Thahawi rahimahullaah berkata:
[٤]- وَلَا إِلٰهَ غَيْرُهُ
[4]- “Tidak ada sesembahan yang berhak diibadahi selain Dia.”
Inilah Tauhid Uluhiyyah. Tauhid inilah yang menjadi bagian terpenting dari dakwah para Rasul -sebagaimana dijelaskan dalam Al-Qur’an-, sehingga Tauhid Uluhiyyah inilah yang menjadi inti permusuhan dan pertentangan yang terjadi antara para rasul dengan kaumnya yang membangkang.[2]
Allah Ta’aalaa berfirman:
{وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِي كُلِّ أُمَّةٍ رَسُوْلًا أَنِ اعْبُدُوا اللهَ وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوْتَ...}
“Dan sungguh, Kami telah mengutus seorang rasul untuk setiap umat (untuk menyerukan): ‘Beribadahlah kepada Allah (saja) dan jauhilah Thaaghuut (sesembahan selain Allah)’…” (QS. An-Nahl: 36)
Deikian juga perselisihan antara Nabi Muhammad shallallaahu ‘alaihi wa sallam dengann kaumnya. Karena secara umum mereka mengakui Rububiiyah Allah, sebagaimana dalam firman-Nya:
{وَلَئِنْ سَأَلْتَهُمْ مَنْ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ لَيَقُوُلُنَّ اللهُ...}
“Dan sungguh, jika engka (Muhammad) tanyakan kepada mereka: “Siapakah yang menciptakan langit dan bumi?” Tentu mereka akan menjawab: “Allah”…” (QS. Luqman: 25).
Akan tetapi mereka mengingkari dan tidak mau tunduk dalam Tauhid Uluhiyyah, sehingga muncul perkataan mereka yang Allah hikayatkan dalam Al-Qur’an:
{أَجَعَلَ الآلِـهَةَ إِلٰـهًا وَاحِدًا إِنَّ هٰذَا لَشَيْءٌ عُجَابٌ}
“Apakah dia (Muhammad) menjadikan sesembahan-sesembahan itu sesembahan yang satu saja? Sungguh, ini benar-benar sesuatu yang sangat mengherankan. (QS. Shaad: 5)
Sehingga Allah sering menunjukkan dalil atas Tauhid Uluhiyyah kepada orang-orang musyrik: dengan Tauhid Rububiyyah, yakni: Penciptaan-Nya terhadap manusia dari yang pertama hingga yang terakhir, penciptaan langit dan bumi serta seisinya, diturunkannya hujan, ditumbuhkannya tumbuh-tumbuhan, dikeluarkannya buah-buahan yang menjadi rizki bagi para hamba, dan lain-lain: Maka, sangat tidak pantas bagi orang-orang musyrik untuk menyekutukan Allah dengan selain-Nya; berupa benda-benda maupun orang-orang, yang orang-orang musyrik itu  sendiri mengetahui bahwa sesembahan-sesembahan mereka tersebut tidak bisa berbuat sesuatu pun dari hal-hal tersebut di atas dan lainnya.
{يَا أَيُّهَا النَّاسُ اعْبُدُوْا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ وَالَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَــتَّقُوْنَ * الَّذِي جَعَلَ لَكُمُ الأرْضَ فِرَاشًا وَالسَّمَاءَ بِنَاءً وَأَنْزَلَ مِنَ السَّمَاءِ مَاءً فَأَخْرَجَ بِهِ مِنَ الثَّمَرَاتِ رِزْقًا لَكُمْ فَلَا تَـجْعَلُوا لِلَٰهِ أَنْدَادًا وَأَنْتُمْ تَعْلَمُوْنَ}
“Wahai manusia! Sembahlah Rabb-mu yang telah menciptakan kamu dan orang-orang yang sebelum kamu, agar kamu bertakwa. (Dialah) yang menjadikan bumi sebagai hamparan bagimu dan langit sebagai atap, dan Dialah yang menurunkan air (hujan) dari langit, lalu Dia hasilkan dengan (hujan) itu buah-buahan sebagai rizki untukmu. Karena itu janganlah kamu mengadakan tandingan-tandingan bagi Allah, padahal kamu mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 21-22)
MATAN (REDAKSI) KITAB:
Imam Ath-Thahawi rahimahullaah berkata:
[٥]- قَدِيْـمٌ بِلَا ابْتِدَاءٍ دَائِمٌ بِلَا انْتِهَاءٍ
[5]- “Allah Qadiim (terdahulu) tanpa permulaan, kekal tanpa akhir.
PENJELASAN:
Syaikh ‘Ali bin ‘Abdul Qadir As-Saqqaf hafizhahullaah berkata:
“Dikabarkan tentang Allah ‘Azza Wa Jalla (dalam bahasa Arab) dengan Qadiim (Yang terdahulu), akan tetapi (Qidam) bukanlah sifat Allah, dan Al-Qadiim bukanlah nama Allah.
Al-Hafizh Ibnul Qayyim berkata dalam Badaa’iul Fawaa-id (I/162):
“Apa yang digunakan untuk Allah dalam Nama-Nama d& Sifat-Sifat adalah Tauqiifiy (harus berdasarkan dalil). Adapun yang digunakan untuk mengabarkan tentang Allah; maka tidak wajib untuk Tauqiifiy; seperti: Qidam (terdahulu), Syai’ (sesuatu), Wujud (ada), Qiyaamuhu Binafsihi (berdiri sendiri).” Sekian perkataan beliau…
Dan dalam hadits shahih (tentang do’a masuk masjid):
أَعُوْذُ بِاللهِ الْعَظِيْمِ، وَبِوَجْهِهِ الْكَرِيْـمِ، وَسُلْطَانِهِ الْقَدِيْـمِ، مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ
“Aku berlindung kepada Allah Yang Mahaagung, dengan wajah-Nya yang mulia, dan shulthaan (kekuasaan)-Nya yang qadiim (terdahulu); dari syaithan yang terkutuk.” HR. Abu Dawud…
Maka di dalam hadits ini terdapat penyifatan shulthaan (kekuasaan) Allah ‘Azza Wa Jalla dengan Qidam (terdahulu).”[3]
MATAN (REDAKSI) KITAB:
Imam Ath-Thahawi rahimahullaah berkata:
[٦]- لَا يَفنَى وَلَا يَبِيْدُ
[6]- “Allah tidak fana dan tidak pula binasa.”
PENJELASAN:
Syaikh Doktor Shalih bin Fauzan Al-Fauzan hafizhahullaah berkata:
“Allah disifati dengan kehidupan yang kekal dan selamanya Allah Ta’aalaa berfirman:
{وَتَوَكَّلْ عَلَى الْـحَيِّ الَّذِيْ لَا يـَمُوْتُ...}
“Dan bertawakkallah kepada Allah Yang Hidup, Yang tidak mati…” (QS. Al-Furqaan: 58)…
Dan Allah Subhaanahu Wa Ta’aalaa berfirman:
{كُلُّ مَنْ عَلَيْهَا فَانٍ * وَيَبْقَى وَجْهُ رَبِّكَ ذُو الـْجَلَالِ وَالْإِكْرَامِ}
“Semua yang ada di bumi itu binasa. Tetapi wajah Rabb-mu yang memiliki kebesaran dan kemuliaan tetap kekal.” (QS. Ar-Rahman: 26-27)[4]

MATAN (REDAKSI) KITAB:
Imam Ath-Thahawi rahimahullaah berkata:
[٧]- وَلَا يَكُوْنُ إِلَّا مَـا يُرِيْـدُ
[7]- “Tidak ada sesuatu pun yang terjadi kecuali atas iraadah (kehendak)-Nya.”
PENJELASAN:
Imam Ibnu Abil ‘Izz Al-Hanafi rahimahullaah berkata:
“Ini merupakakan bantahan atas Qadariyyah dan Mu’tazilah, karena mereka menyangka bahwa: Allah menghendaki keimanan dari seluruh manusia, akan tetapi orang kafir (kenapa dia menjadi kafir, karena dia) menghendaki kekafiran (dan kehendaknya mengalahkan kehendak Allah-pent). Dan pendapat mereka (Qadariyyah) ini adalah bathil dan tertolak, karena menyelisihi Al-Qur’an dan As-Sunnah, serta akal yang sehat…
Mereka dinamakan Qadariyyah dikarenakan: mereka mengingkari takdir…
Adapun Ahlus Sunnah; maka mereka mengatakan: Sesungguhnya Allah walaupun menghendaki kemaksiatan secara takdir; akan tetapi Dia tidak mencintainya, tidak meridhainya, dan tidak memerintahkan dengannya, bahkan Dia membencinya, murka atasnya, dan tidak menyukainya, serta melarang darinya. Inilah pendapat para Salaf secara keseluruhan, mereka mengatakan:
مَا شَاءَ اللهُ كَانَ، وَمَا لَـمْ يَشَأْ لَـمْ يَكُنْ
Apa yang Allah kehendaki pasti terjadi, dan apa yang tidak Dia kehendaki tidak akan terjadi.”[5]
Dan para muhaqqiq (peneliti) dari kalangan Ahlus Sunnah mengatakan bahwa: “Iraadah” terbagi menjadi 2 (dua):
Pertama: “Iraadah Kauniyyah”, maka “Iraadah” ini semakna dengan “Masyii-ah”.
Dan “Iraadah” ini:
1. Berkaitan dengan hal-hal yang Allah cintai dan juga yang tidak Allah cintai.
Maka, kalau ada yang bertanya: “Apakah Allah menghendaki terjadinya kekufuran pada hamba?” Jawabannya: “Allah menghendakinya dengan “Iraadah Kauniyyah”, kalaulah Allah tidak menghendakinya; maka tidak akan terjadi.”
2. Pasti terjadinya hal-hal yang Allah kehendaki secara “Iraadah Kauniyyah” ini, dan tidak mungkin akan terluput.
Kedua: “Iraadah Syar’iyyah”, yaitu semakna dengan: “Mahabbah” (kecintaan) Allah (terhadap sesuatu).
Dan “Iraadah” ini:
1. Khusus berkaitan dengan hal-hal yang Allah cintai, sehingga Allah tidak menghendaki kekufuran dan kefasikan secara “Iraadah Syar’iyyah”.
2. Tidak mesti terjadi, yakni: Allah mengendaki -dengan “Iraadah Syar’iyyah”-: agar semua manusia beribadah kepada-Nya; akan tetapi kenyataannya: tidak semua makhluk beribadah kepada-Nya.
Sehingga perbedaan antara “Iraadah Kauniyyah” dengan “Iraadah Syar’iyyah” bisa dilihat dari dua segi:
(1)-. “Iraadah Kauniyyah” adalah pasti terjadi, sedangkan “Iraadah Syar’iyyah” tidak mesti terjadi.
(2)- “Iraadah Syar’iyyah” khsusus berkaitan dengan hal-hal yang Allah cintai, sedangkan “Iraadah Kauniyyah” adalah umum; berkaitan dengan hal-hal yang Allah cintai maupun yang tidak Dia cintai.[6]
-ditulis oleh: Ahmad Hendrix-


[1] Syarh Al-‘Aqiidah Ath-Thahaawiyyah (hlm. 106-107- cet. Al-Maktab Al-Islaami), dengan diringkas.
[2] Lihat: Manhajul Anbiyaa’ Fid Da’wah Ilallaah (hlm. 41), karya Syaikh Rabi’ bin Hadi Al-Madkhali hafizhahullaah.
[3] Shifaatullaah ‘Azza Wa Jalla Al-Waaridah Fil Kitaab Was Sunnah (hlm. 200-201).
[4] At-Ta’liiqaat Al-Mukhtasharah ‘Alal ‘Aqidah Ath-Thahaawiyyah (hlm. 35-36).
[5] Syarh Al-‘Aqiidah Ath-Thahaawiyyah (hlm. 113-114- cet. Al-Maktab Al-Islaami).
[6] Lihat: Syarh Al-‘Aqiidah Al-Wasithiyyah (I/222-223), karya Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullaah.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar