MATAN
(REDAKSI) KITAB:
Imam
Ath-Thahawi rahimahullaah berkata:
[١٦]- لَيْسَ بَعْدَ خَلْقِ الْـخَلْقِ اسْتَفَادَ اسْمَ ((الْـخَالِقِ))،
وَلَا بِـإِحْدَاثِ الْبَرِيَّــةِ اسْتَفَادَ اسْمَ ((الْبَارِي))
[16]- Nama Allah “Al-Khaaliq”
(Maha Pencipta) bukanlah baru diperoleh setelah Dia menciptakan makhluk,
dan nama Allah “Al-Baarii” (Yang Mengadakan) bukanlah baru diperoleh
setelah diadakannya manusia/makhluk.
[١٧]- لَهُ مَعْنَى الـرُّبُـوْبِـيَّـةِ وَلَا مَـرْبُوْبَ،
وَمَعْنَى الْـخَالِقِ وَلَا مَـخْلُوْقَ
[17]- Dia
memiliki sifat “Rubuubiyyah” (pengaturan) sebelum ada yang diatur, dan
Dia Sang Pencipta sebelum ada yang diciptakan.
[١٨]- وَكَمَا أَنَّهُ مُـحْيِـي الْمَوْتَى
بَعْدَمَا أَحْيَا؛ اِسْــتَحَقَّ هٰذَا الْاِسْمَ قَـبْلَ إِحْيَائِـهِمْ، كَذٰلِكَ
اسْتَحَقَّ اسْمَ الْـخَالِـقِ قَبْلَ إِنْـشَائِـهِمْ
[18]- Sebagaimana
Dia berhak disifati dengan “Yang menghidupkan orang-orang yang mati” setelah
Dia menghidupkan mereka; maka demikian pula Dia yang berhak menyandang sifat
ini sebelum menghidupkan mereka. Demikian juga Dia berhak menyandang nama “Al-Khaaliq”
(Maha Pencipta) sebelum makhluk diciptakan.
PENJELASAN:
Ini adalah pengulangan dan penguatan
untuk point-point yang sebelumnya [13, 14 & 15]; yakni bahwa: Allah
bersifat dengan sifat-sifat kesempurnaan secara azali (sejak dahulu) dan abadi
(selama-lamanya).
[١٩]- ذٰلِكَ بِأَنَّـهُ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ،
وَكُلُّ شَيْءٍ إِلَـيْـهِ فَـقِيْرٌ، وَكُلُّ أَمْرٍ عَلَيْهِ يَسِـيْرٌ، لَا يَـحْتَاجُ
إِلَـى شَيْءٍ: {...لَيْسَ كَمِثْـلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيْعُ الْبَصِـيْرُ} [الشورى:11]
[19]- Hal
itu karena Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu dan segala sesuatu adalah butuh
kepada-Nya. Segala urusan adalah mudah bagi-Nya dan Dia tidak butuh kepada
sesuatu pun. “...Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia. Dan Dia-lah
Yang Maha Mendengar, Maha Melihat.” (QS. Asy-Syuuraa: 11).
PENJELASAN:
Yakni: Allah menciptakan
makhluk-Nya, memberi rezeki kepada mereka, mematikan dan menghidupkan mereka,
dan lain sebagainya; semua itu karena “Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu”.
“Dan segala sesuatu adalah butuh
kepada-Nya”; tidak ada suatu makhluk pun melainkan butuh kepada Allah, baik
para malaikat, jin, dan manusia, bahkan benda-benda mati; seperti: langit,
bumi, pegunungan dan lautan. Semuanya butuh kepada Allah.
Allah
berfirman tentang manusia:
{يَا أَيُّهَا النَّاسُ أَنْتُمُ الْفُقَرَاءُ
إِلَى اللهِ وَاللهُ هُوَ الْغَنِيُّ الْـحَمِيْدُ}
“Wahai
manusia! Kamulah yang memerlukan Allah; dan Allah Dia-lah Yang Maha Kaya (tidak
memerlukan sesuatu),Maha Terpuji.” (QS. Fathir: 15)
Maka ini
membatalkan peribadahan kepada selain Allah; baik kepada para malaikat, para
nabi, para wali, dan orang-orang shalih, karena mereka semua tidak memiliki kekuasaan
dan pengaturan pada alam semesta, mereka tidak dapat memberikan manfaat maupun
mudharat, justru mereka semua butuh kepada Allah, maka bagaimana mungkin mereka
disembah?! Sehingga jelaslah bahwa: ibadah harus dipersembahkan kepada Allah
saja, hanya Dia yang diibadahi, hanya Dia yang diminta, karena semua makhluk
butuh kepada-Nya. Dan tidak memberatkan-Nya segala yang diminta oleh makhluk
kepada-Nya, karena “segala
urusan adalah mudah bagi-Nya”. Allah Ta’aalaa berfirman:
{إِنَّـمَا
أَمْرُهُ إِذَا أَرَادَ شَــيْـئًا أَنْ يَقُوْلَ لَهُ كُنْ فَيَكُوْنُ}
“Sesungguhnya urusan-Nya
apabila Dia menghendaki sesuatu Dia hanya berkata kepadanya: “Jadilah!” Maka
terjadilah sesuatu itu.” (QS. Yasin: 82) [1]
“dan Dia tidak butuh kepada sesuatu pun”, bahkan ketika Allah menyebutkan bahwa hikmah
dari Dia menciptakan jin dan manusia adalah untuk beribadah kepada-Nya; maka
Dia menyebutkan bahwa diri-Nya tidak butuh untuk diberi rezeki atau makanan
oleh makhluk-Nya. Allah Ta’aalaa berfirman:
{وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإنْسَ إِلَّا لِيَعْبْدُوْنِ * مَا أُرِيْدُ مِنْهُمْ مِنْ رِزْقٍ وَمَا أُرِيْدُ أَنْ يُطْعِمُوْنِ * إِنَّ اللهَ هُوَ الرَّزَّاقُ
ذُو الْقُوَّةِ الْمَتِيْنُ}
“Dan
Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah
kepada-Ku. Aku tidak menghendaki rezeki sedikit pun dari mereka dan Aku tidak
menghendaki agar mereka memberi makan kepada-Ku. Sungguh Allah, Dialah
Pemberi rezeki yang mempunyai kekuatan lagi sangat kokoh.” (QS. Adz-Dzaariyaat: 56-587)
Kemudian: sekali lagi diingatkan oleh Imam
Ath-Thahawi rahimahullaah tentang masalah nafyu (penafian/penolakan)
dan itsbaat (penetapan) dalam masalah sifat-sifat Allah, beliau
membawakan firman Allah Ta’aalaa:
{...لَيْسَ كَمِثْـلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيْعُ الْبَصِـيْرُ}
“...Tidak ada sesuatu pun
yang serupa dengan Dia. Dan Dia-lah Yang Maha Mendengar, Maha Melihat.” (QS. Asy-Syuuraa: 11).
{لَيْسَ كَمِثْـلِهِ شَيْءٌ}
“Tidak ada sesuatu pun yang
serupa dengan Dia.” Ini
bantahan untuk Musyabbihah (orang-orang yang menyerupakan Allah dengan
makhluk-Nya).
{وَهُوَ السَّمِيْعُ الْبَصِـيْرُ}
“Dan Dia-lah Yang Maha
Mendengar, Maha Melihat.”
Ini bantahan untuk Mu’aththilah (orang-orang
yang menolak sifat-sifat Allah Subhanahu Wa Ta’aalaa).
Jadi Allah disifati dengan sifat-sifat
kesempurnaan akan tetapi tidak serupa dengan makhluk-Nya.
Seperti: walaupun Allah jadikan manusia itu mendengar
dan melihat -sebagaimana di dalam Surat Al-Insan-:
{إِنَّا خَلَقْنَا الْإِنْسَانَ مِنْ نُطْفَةٍ أَمْشَاجٍ نَبْتَلِـيْهِ
فَجَعَلْنَاهُ سَـمِيْعًا بَصِيْرًا}
“Sungguh,
Kami telah menciptakan manusia dari setetes mani yang bercampur, yang Kami
hendak mengujinya (dengan perintah dan larangan), karena itu Kami jadikan dia
mendengar dan melihat.” (QS. Al-Insan: 2)
Akan tetapi jelas pendengaran dan
penglihatan manusia tidak sama dengan pendengaran dan penglihatan Allah Subhanahu Wa Ta’aalaa. Jadi, bukan berarti kita menetapkan sifat
Allah: mendengar, melihat, Allah memiliki tangan, kaki, dan wajah, Allah
tertawa, ridha, dan murka, Allah merahmati dan mencintai: bukan berarti
menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya, karena sifat tersebut kalau disandarkan
kepada makhluk; maka sesuai dengan makhluk, akan tetapi ketika disandarkan
kepada Allah Subhanahu Wa Ta’aalaa; maka sesuai dengan keagungan Allah Subhanahu
Wa Ta’aalaa, dan kaifiyatnya tidak kita ketahui.
Itulah yang diyakini oleh Ahlus Sunnah Wal Jama’ah
sebagaimana diwakili oleh Imam Malik bin Anas rahimahullaah
(guru dari Imam Asy-Syafi’i rahimahullaah); ketika ditanya
tentang kaifiyat sifat istiwaa’ (bersemayam) bagi Allah di atas ‘Arsy
(singgasana)-Nya, kemudian beliau menjawab:
اَلْاِسْتِوَاءُ
غَيْرُ مَـجْهُوْلٍ، وَالْكَيْفُ غَيْرُ مَعْقُوْلٍ، وَالْإِيْـمَانُ بِهِ
وَاجِبٌ، وَالسُّؤَالُ عَنْهُ بِدْعَةٌ
“Istiwa’-Nya
Allah tidak asing maknanya (sudah diketahui maknanya), kaifiyatnya tidak
dapat dicapai nalar (tidak diketahui), beriman kepada sifat istiwaa’ ini adalah
wajib, dan bertanya tentang kaifiyatnya adalah perkara bid’ah.”
Dan perkataan Imam Malik ini menjadi kaedah untuk
sifat-sifat Allah yang lainnya.[2]
-ditulis oleh: Ahmad Hendrix-
[1]
Lihat: At-Ta’liiqaat Al-Mukhtasharah ‘Alal ‘Aqidah Ath-Thahaawiyyah (hlm.
45-46).
[2] Lihat: At-Tanbiihaat
As-Saniyyah ‘Alal ‘Aqiidah Al-Waasithiyyah (hlm. 24), karya Syaikh ‘Abdul
‘Aziz Nashir Ar-Rasyid rahimahullaah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar